Liputan6.com, Garut Jika kampung cukur di Banyuresmi, dikenal dan melegenda karena keahlian warganyanya mem-permak rambut, Kampung Cijambe, Desa Sindanglaya, Kecamatan Karangpawitan, Garut, Jawa Barat, lebih dikenal dengan sebutan kampung pigura.
Keahlian warga kampung itu dalam mereka memperindah karya seni, telah menjadi mata pencaharian sejak lama. Sebutan itu pun seakan menegaskan jika ratusan kepala keluarga dengan ribuan anggotanya di sana, lihai mempercantik tampilan bingkai sebuah karya seni, hingga akhirnya tampil elegan, yang bernilai cukup tinggi dan enak dipandang mata.
“Kunci utamanya minimal bisa menghitung, kalau soal keahlian itu diwariskan secara turun temurun,” ujar Ismail Marzuki, 45 tahun, salah satu pengrajin sekaligus pengusaha pigura di bilangan jalan Terusan Pembangunan, Garut, saat ditemui Liputan6.com, Rabu (13/2/2019) siang.
Mengenakan stelan kaos hijau dengan polet putih melintang di bajunya, Ismail terlihat mahir melakukan pemotongan bingkai fiber, yang akan digunakan untuk figura pas foto berukuran 4 R, di depannya.
Baca Juga
Advertisement
Sesekali tangannya terlihat mengusap bingkai fiber yang sudah terbentuk persegi empat tersebut, untuk sejurus kemudian mengecek tingkat kehalusan dan kerapihan, produk pigura yang akan segera dipajang sebagai barang dagangan utamanya itu.
“Harus telaten, kurang sedikit bakal terlihat,” ujar dia memberikan sedikit resep agar menghasilkan produk pigura yang berkualitas.
Ismail menceritakan, keahlian membuat bingkai pigura diperoleh secara turun temurun antar warga kampung CIjambe dari tetua mereka. Saat itu, para leluhurnya mendapatkan tugas menak Belanda dan kalangan ningkat pribumi, membuatkan bingkai pigura untuk mempercantik sebuah karya seni milik para bangsawan.
“Ada foto keluarga berukuran besar, lukisan langka dan lainnya, saya mendapatkan cerita dari kakek saya,” kata dia.
Dari sana lah, keahlian itu kemudian dilestarikan dan dikembangkan hingga kini. Entah berapa banyak hasil karya seni menulis dan cetak, seperti kaligrasi, lukisan kontemporer, gambar hasil jepretan foto, piagam dan lainnya, pernah merasakan indahnya bingkai pigura warga kampung pigura Cijambe, Garut ini.
Ismail menyatakan, produk figura yang dihasilkan masih menggunakan olah tangan alias manual, meskipun kemajuan jaman dengan mengedepankan alih teknologi tak terelakan, namun Ia keukeuh jika pigura yang baik dan bernilai seni tinggi, dikerjakan dengan tangan terampil.
“Paling beda hanya bahannya saja, kalau dulu kayu sekarang fiber, sementara soal pengerjaan tetap masih menggunakan tangan langsung,” ujarnya.
Ia mencontohkan karya figura untuk satu lukisan kaligrafi hasil komputer, hanya dikerjakan dalam hitungan jam dengan hasil sangat memuaskan. “Dengan bahan fiber lebih ringan dan pengerjaan lebih cepat,” ujar dia menegaskan.
Produk Kayu Tersisihkan
Sebelum produk fiber merajalela saat ini, olahan kayu hasil bumi Indonesia, pernah merasakan kejayaan bingkai pigura Cijambe Garut ini sejak lama. Sebut saja kayu jamuju, yang memiliki tingkat kekerasan menyerupai kayu jati. “Bingkai kayu jajumu bisa bertahan hingga 40 tahun bahkan lebih,” ujar dia.
Selain awet, tingkat pengerjaan kayu jajumu terbilang mudah untuk membentuk bingkai pigura. Namun seiring semakin ketatnya peraturan pemerintah, mengenai larangan penjarahan kayu hutan, akhirnya salah satu kayu yang dilindungi itu sulit diperoleh di pasaran. “Kalau pun ada harganya mahal, ya akhirnya diganti sama fiber saja,” ujar dia.
Patah tumbuh hilang berganti, sejak kayu jajumu sulit didapat ujar dia, akhirnya dia bersama warga pengrajin pigura Cijambe lainnya, berganti mengunakan kayu lain dengan jumlah dan pengerjaan yang relatif gampang.
Sebut saja kayu lame, hanja hingga manglid pernah mengisi dapur prpduksi mereka. Sayang, untuk kayu lame, lebih gampang terkena rayap dan mudah keropos, hingga tak bertahan lama. “Sebenarnya bisa kayu apa saja, yang penting mudah dipola untuk menjadi bingkai,” kata dia.
Namun seiring membanjirnya produk fiber, Ismail akhirnya banting setir menggunakan fiber, selain lebih mudah dalam memola bahan, juga relatif mudah dalam hal pengerjaan. “Kalau kayu minimal satu hari sebelumnya sudah konfirmasi, jika fiber hanya hitungan jam bisa selesai di tempat,” kata dia.
Ismail mengaku, garapan seni bingkai pigura seolah berjodoh dengan warga Cijambe. Datangnya momen pergantian presiden, ramadan dan hajian, menjadi saat yang paling dinanti pengrajin. Untuk ketiga saat itu, warga selalu ketiban rezeki melimpah yang tak terduga.
“Minimal untuk ramadan dan hajian, biasanya warga membutuhkan kaligrafi, sementara untuk momen presiden banyak pigura untuk foto calon pemimpin,” ujar dia sambil tersenyum.
Soal urusan harga, Ismail mengaku jika produk pigura yang ia tawarkan terbilang murah, selain kualitas yang bagus, juga kerapihan yang ditampilkan, berani diadu dengan produk lain luar daerah. “Kenapa demikian, sebab biasanya pengrajin pigura dulunya berasal dari Cijambe atau pernah berguru ke Cijambe,” ujarnya sambil bercanda.
Ia mencontohkan pigura untuk bingkai foto 4 R hanya dihargai Rp 10 ribu, sementara harga paling mahal berkisar di angka Rp 5 juta dengan ukuran lebar 1 meter dan panjang 2 meter. “Khusus kaligrafi plus pigura jadi, kami jual di mulai Rp 250 ribu ke atas,” ujar dia membocorkan harga seni kaligrafi yang siap untuk dipajang.
Dengan segudang pengalaman dan rekam jejaknya, tak mengherankan banyak produk pigura kampung Cijambe Garut, merambah kota besar Indonesia. “Untuk (pengrajin ) di Jawa Barat rata-rata dari sini (Cijambe),” kata dia.
Sementara untuk pasar luar pulau Jawa Barat, masih mengandalkan pada pemesanan dengan kualifikasi barang pigura jadi siap pasang. “Biasanya dari Sumatera sudah biasa ada pesanan,” kata dia.
Advertisement
Ekpansi Pengrajin Pigura Garut
Memiliki bakat alam olah tangan mempercantik karya seni, kerajinan pigura bagi warga kampung Cijambe Garut, seolah ladang basah yang tidak boleh ditinggalkan, sebagian besar warga kampung Cijambe sejak lama menggantungkan hidup dari lahan bisnis ini. “Ada yang di Bandung, Cirebon, Subang, tapi paling banyak di sekitaran Jabodetabek,” ujar dia.
Akhirnya sejak dekade 1990-an mereka berani keluar kandang, dan hijrah ke kota besar mengadu nasib, menghasilkan dan menjajakan produk pigura khas Cijambe Garut yang berkualitas. “Biasanya mereka pergi ke kota secara berkelompok, nanti buka lagi untuk membuka cabang,” ujar pemilik toko Shafira Kaligrafi, Pigura dan Lukidan Garut ini.
Ismail menyatakan, sejak lama keberadaan kampung Cijambe Garut, memang sudah dikenal sebagai gudangnya ahli pigura karya seni. Hampir di setiap rumah bisa ditemukan masyarakat yang memiliki keahlian, tengah mengerjakan pesanan pigura, meskipun dengan tingkat keunikan dan karaterisitik yang berbeda.
Saat ini yang tengah menjadi buruan konsumen adalah pigura kaligrafi. Tercatat beberapa kaligrafi unggulan tanah air sebut saja kaligrafi lukisan dari Bandung, kaligrafi plat dari Garut, kaligrafi lilin dari Bogor dan Tanggerang, kaligrafi kuningan dari Demak.
Hingga pengerjaan pigura untuk kaligrafi ukiran yang cukup rumit dari Jepara tersedia dengan lengkap di sini. “Untuk pigura kaligrafi apapun kami siap, termasuk jenis piguranya pun cukup beragam,” ujar dia sambil menunjukan beberapa karya kaligrafi indah yang telah dipersolek dengan tampihak pigura kokoh di dinding dapur produksinya.
Namun meskipun demikian, Ismail mengaku tetap melayani permintaan produk lainnya yang terbilang modern, terutama soal fasilitas untuk ibadah muslim. “Kami menyediakan pulang running teks, gearbok, hingga jam dinding yang diseting sesuai dengan jadwal,” ujarnya.
So, bagi anda yang memiliki karya seni bernilai tinggi, namun belum terdandani dengan baik, Tak ada salahnya mencoba pigura karya tangan masyarakat Cijambe, Garut ini. Desain, pola dan bahan bisa anda tentukan sendiri, hingga dianggap mampu menaikan nilai estetika karya seni anda. Selamat menocoba dan menikmati.