Liputan6.com, Kupang - Tragedi kematian TKI Adelina Lisao, yang tewas disiksa oleh majikannya di Malaysia pada 11 Februari 2018, telah menginjak satu tahun. Namun, ibu korban mengaku bahwa dirinya 'buta' terhadap proses hukum bagi para pelaku yang membunuh anaknya.
Yohana Banunaek, ibunda mendiang Adelina Lisao, mengaku tidak mengetahui sama sekali soal perkembangan proses hukum terhadap pelaku penganiayaan TKI Adelina hingga tewas di Negeri Jiran.
Hal itu disampaikan oleh Yohana dalam bahasa daerah Timor yang diterjemahkan penerjemah dalam acara mengenang satu tahun kematian Adelina yang diselenggarakan oleh Sinode GMIT dan LSM Tenaganita, di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 12 Februari 2019.
Perhelatan itu juga digelar untuk menyikapi kasus perdagangan orang secara ilegal dan makin bertambahnya jumlah korban pekerja migran Indonesia asal NTT yang tewas di Malaysia belakangan ini.
Baca Juga
Advertisement
Merespons satu tahun kematian anaknya, Yohana Banunaek yang hadir pada agenda di Kupang terlihat sedih dan tidak bisa menahan air matanya --menurut pantauan jurnalis Liputan6.com di tempat.
Nampak Yohana beberapa kali mengusap kedua matanya dengan kedua tangannya.
Ia mengaku "sangat merindukan" anaknya. Namun, ia juga mengatakan "tidak tahu sama sekali soal proses hukum majikan yang telah membunuh anaknya" itu.
Yohana juga meminta "pemerintah RI bisa melindungi seluruh tenaga kerja Indonesia yang bekerja di negara lain agar tidak terjadi lagi korban penyiksaan," jelasnya melalui penerjemah.
Sementara itu, dalam kesempatan terpisah, Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, M. Kulasegaran menegaskan pada Selasa 12 Februari 2019 bahwa Malaysia siap untuk "menyatakan perang" terhadap perdagangan orang dan kerja paksa, menambahkan bahwa tinjauan undang-undang perburuhan sedang berlangsung --demikian seperti dikutip dari The Star Malaysia pada Rabu 13 Februari 2019.
Proses Hukum Kasus TKI Adelina Dinilai Tidak Transparan
Proses hukum terhadap para pelaku yang menganiaya Adelina hingga tewas telah berjalan sejak Februari 2018.
Dua tersangka, yang berstatus majikan (seorang ibu dan putrinya) telah didakwa di pengadilan Malaysia atas pembunuhan dan karena mempekerjakan warga asing tak berdokumen.
Tetapi, kemajuan proses hukum dalam kasus ini juga dinilai lambat dan "tidak transparan" kata pegiat hak asasi manusia yang berbasis di NTT.
Pendeta Emy Sahertian yang juga aktivis Jaringan Anti Perdagangan Orang Nusa Tenggara Timur mengatakan proses hukum terhadap kasus kematian Adelina Lisao tidak transparan.
Menurut dia, LSM Tenaganita sebagai jaringan anti-perdagangan manusia di Malaysia juga sulit mengakses informasi soal proses hukum Adelina Lisao.
"Informasi dari Malaysia itu sangat minim karena itu penanganannya itu sangat reaktif, jadi ketika kami tahu bahwa kasusnya ada dilaporkan ke polisi, baru kami mulai membuka jaringan ke Malaysia terutama dengan Tenaganita," katanya.
"Untuk pendampingan di sana itupun baru dua, Adelina Lisao dengan kasusnya Mriance Kabu, tapi itu juga baru mulai," tambah Emy.
Laporan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) di Malaysia, sesuai hukum Malaysia, pekerja migran tak berdokumen yang tewas akibat tindak kekerasan tidak mendapat perhatian khusus karena dianggap menganggu situasi dan kondisi hukum di Malaysia.
"Itulah kemudian saya ambil kesimpulan kenapa di pengadilan Malaysia, kasus-kasus itu mengambang, karena mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak terdokumentasi, bahkan lebih banyak dikriminalisasi," lanjut Emy mengomentari proses hukum kasus kematian TKI Adelina.
*Jurnalis Liputan6.com, Ola Keda, melaporkan dari Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Simak video pilihan berikut:
Polemik TKI di Malaysia
Malaysia sangat bergantung pada pekerja asing di berbagai sektor mulai dari manufaktur hingga perkebunan dan pekerjaan rumah tangga.
Negeri Jiran secara resmi menjadi tuan rumah bagi hampir dua juta pekerja migran, meskipun beberapa perkiraan mengatakan sekitar jutaan pekerja asing di negara itu berstatus ilegal atau korban perdagangan orang yang ditipu dengan janji upah yang menguntungkan.
Indonesia dan Kamboja, sumber utama pekerja migran ke Malaysia, di masa lalu pernah untuk sementara mengeluarkan moratorium yang melarang warganya bekerja di Malaysia sebagai asisten rumah tangga setelah mengemukanya berbagai kasus pelecehan. Namun, moratorium itu kemudian dicabut.
Kematian Adelina Lisao pada 2018 yang memicu kemarahan publik di Tanah Air, sempat menyulut wacana diberlakukannya kembali moratorium penangguhan pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia.
Bahkan, rencana itu sempat dipertimbangkan oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), M Hanif Dhakiri pada Selasa 20 Februari 2018.
Kala itu, Hanif mengatakan, jika Malaysia tak kunjung memperbarui nota kesepahaman (MoU) dan perbaikan sistem perlindungan pekerja migran Indonesia di sana, Pemerintah RI akan mempertimbangkan menerapkan moratorium pengiriman pekerja migran ke negara tersebut.
Hal itu didukung oleh UU Nomor 18 tahun 2018 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang mengamanatkan, penempatan pekerja migran Indonesia hanya pada negara yang melakukan MoU.
Namun, Duta Besar Malaysia saat itu, Datuk Sri Zahrain Mohamed Hashim menyatakan, moratorium bukan merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi kasus pilu TKI Adelina.
Hashim berpendapat, penanganan kasus tersebut serta pencegahan atas peristiwa serupa di masa mendatang memerlukan diskusi matang antara pemerintah kedua negara.
"Oleh karenanya, menetapkan moratorium tidak akan berupaya menyelesaikan masalah itu. Justru yang dikhawatirkan adalah bahwa penetapan kebijakan moratorium akan menyebabkan maraknya praktik pemberangkatan pekerja migran Indonesia yang nonprosedural oleh pihak yang tak bertanggung jawab," kata Hashim dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Malaysia Jakarta 21 Februari 2018.
Advertisement