Liputan6.com, Melbourne - Pemerintah Australia dikabarkan akan membuka kembali sebuah kamp tahanan imigrasi di Pulau Christmas, sebagai langkah antisipasi dalam menghadapi gelombang baru para pencari suaka.
Keputusan itu diambil pada hari Rabu, 13 Februari 2019, setelah parlemen meloloskan legislasi yang memberikan akses kepada para pencari suaka yang sakit, agar gampang menuju ke rumah-rumah sakit di daratan utama Australia.
Advertisement
Kamp tahanan Pulau Christmas, yang terletak di sebelah selatan Pulau Jawa, sebelumnya dikenal sebagai target favorit para penyelundup manusia.
Umumnya, para pelaku membawa para pencari suaka dari Asia, Afrika dan Timur Tengah dengan menggunakan kapal-kapal ilegal yang tidak layak berlayar dari pelabuan-pelabuhan Indonesia.
Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, mengatakan bahwa komisi keamanan kabinetnya sepakat untuk membuka kembali kamp itu atas saran para pejabat keamanan seniornya.
Keputusan tersebut diambil sebelum Senat meloloskan legislasi dengan perbandingan suara setuju dan tidak setuju, 36 banding 34, yang memungkinkan dokter --bukan birokrat-- memutuskan apakah para pencari suaka di kamp-kamp di Papua Nugini dan Nauru bisa diterbangkan ke Australia, demi mendapatkan perawatan rumah sakit.
Pemerintah Morrison yang konservatif menentang RUU itu, namun legislasi tersebut lolos di DPR dengan suara 75 banding 74, pada hari Selasa. Menurut Morrison, RUU itu akan melemahkan kebijakan keras Australia terkait pengungsi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Australia Didesak Segera Pindahkan Imigran Anak yang Ditahan di Nauru
Sebelumnya, sekelompok organisasi hak asasi manusia telah menuntut pemerintah Australia untuk menghapus semua pencari suaka anak, yang ditahan di pulau Nauru di perairan Pasifik Selatan.
Desakan itu datang menyusul laporan seorang anak laki-laki berusia 12 tahun, yang melakukan aksi mogok makan selama berminggu-minggu, memicu kekhawatiran baru tentang kesehatan mereka.
Koalisi dengan tanda pagar (tagar) #KidsOffNauru menginginkan 119 anak-anak di pulau itu dimukimkan pada November mendatang.
Dikutip dari BBC pada Selasa, 21 Agustus 2018, kebijakan penahanan lepas pantai Australia yang kontroversial telah dikritik karena korbannya terhadap pencari suaka.
Fasilitas di Nauru didirikan di bawah kebijakan imigrasi garis keras pemerintah Australia, untuk menahan para pencari suaka yang ditangkap saat mencoba mencapai Negeri Kanguru dengan perahu ilegal.
Pusat detensi di Nauru telah diserang oleh tuduhan pelecehan dan trauma yang meluas di kalangan anak-anak dan wanita.
Senanda dengan hal di atas, koalisi lebih dari 30 badan amal dan kelompok advokasi, termasuk World Vision Australia dan Oxfam Australia, menginginkan semua anak yang ditahan tersebut, dipindahkan ke Australia atau menetap di negara lain yang aman.
Kepala eksekutif World Vision Australia, Claire Rogers, mengatakan anak-anak di Nauru "tidak memiliki harapan".
"Banyak dari mereka telah tinggal selama bertahun-tahun di tenda, mereka telah dipisahkan dari anggota keluarga dekat, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk bermain atau akses ke perawatan medis yang memadai," ujar Rogers.
"Jam terus berdetak. Sistem yang berbahaya, rahasia dan disfungsional dari penahanan tanpa batas ini harus diakhiri," lanjutnya menegaskan.
Hingga saat ini, pemerintah Australia belum bereaksi menanggapi desakan tersebut.
Advertisement