Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lentera Anak (YLA) menduga ada tindakan eksploitasi anak untuk promosi produk rokok. Dugaan tindakan eksploitasi atas digelarnya sebuah audisi untuk merebut beasiswa bulutangkis yang telah diselenggaraka lebih dari 10 tahun. Audisi ini melibatkan anak usia 6 sampai 15.
Baca Juga
Advertisement
Saat konferensi pers Industri Rokok Eksploitasi 23 Ribu Anak, Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari mengungkapkan, audisi tersebut bukan sebatas membiasakan brand image produk tembakau kepada anak, tapi patut diduga adanya tindakan eksploitasi anak.
"Pemenang audisi ini sebenarnya bukanlah anak-anak yang mendapat secuil beasiswa, melainkan adalah penyelenggara audisi. Karena mereka membangun pasar masa depan dan pencitraan sebagai perusahaan yang seolah-olah peduli (dengan bulutangkis) melalui kegiatan ini," jelas Lisda dalam keterangan rilis di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di Jakarta, ditulis Jumat, 15 Februari 2019.
Lebih dari 23.000 anak yang mengikuti kegiatan audisi tersebut, tubuhnya dimanfaatkan sebagai media promosi brand image produk tembakau tertentu. Mereka harus mengenakan kaos bertuliskan yang merupakan brand image produk rokok yang mengandung zat adiktif berbahaya.
Pemanfaatan tubuh anak sebagai media promosi merupakan salah satu bentuk eksploitasi secara ekonomi (Pasal 66 UU Perlindungan Anak No. 35/2014). Ini karena ada pihak lain yang akan mendapatkan keuntungan melalui promosi tersebut.
Saksikan video menarik berikut ini:
Potensi eksploitasi anak dalam industri rokok
Anak-anak yang mengikuti audisi tersebut bisa saja terkesan meningkatkan kesadaran terhadap brand produk rokok tersebut. Sementara itu, anak-anak tidak menyadarinya dan mengikuti audisi hanya untuk mengembangkan dirinya sebagai atlet bulutangkis.
Komisioner Penanggung Jawab Bidang Kesehatan dan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza) Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Sitti Hikmawatty menekankan, industri rokok berpotensi tinggi melakukan eksploitasi anak.
“Industri rokok berpotensi tinggi melakukan eksploitasi anak. Eksploitasi tersebut dapat ditemukan dari hulu sampai hilir." ujarnya.
Eksploitasi di tingkat hulu, misal anak-anak yang dipekerjakan di pertanian tembakau, sedangkan di tingkat hilir adalah anak-anak sebagai target pemasaran. Bahkan mereka dimanfaatkan sebagai media pemasaran sekaligus konsumen perokok pemula.
Perbuatan mengeksploitasi tubuh anak bisa dipidana dengan merujuk pasal 88 UU No. 35/2014 Tentang Perlindungan Anak, “Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 I , dipidana paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”
Bukan hanya itu, audisi itu juga dinilai telah melanggar PP 109/2012 Tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, Pasal 47 (1), yakni mengikutsertakan anak-anak pada penyelenggaraan kegiatan yang disponsori rokok dan Pasal 37 (a) tentang larangan menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau, termasuk brand image produk tembakau.
Advertisement