Gempa Bolivia 1994 Kuak Keberadaan Gunung Misterius di Bawah Bumi

Gempa besar di Bolivia, yang terjadi pada tahun 1994, telah mengungkap keberadaan gunung yang luas di bawah permukaan Bumi.

oleh Afra Augesti diperbarui 16 Feb 2019, 18:35 WIB
Gempa bumi berkekuatan 8,2 magnitudo melanda Bolivia pada Juni 1994. (Wikimedia Commons)

Liputan6.com, La Paz, Sucre - Sebuah penelitian baru mengungkapkan fitur dunia bawah tanah yang menyerupai struktur di permukaan Bumi. Jauh dari iklim panas yang menggelegak, ternyata ada banyak gunung di dalam planet ini.

Ahli geofisika dari Princeton University di Amerika Serikat dan Chinese Academy of Sciences menggunakan gema gempa besar yang melanda Bolivia pada dua dekade lalu, untuk menyatukan topografi di bawah Bumi.

Pada 9 Juni 1994, lindu bermagnitudo 8,2 mengguncang wilayah Amazon yang berpenduduk jarang di Amerika Selatan. Ini adalah gempa terparah yang pernah melanda Bolivia sepanjang sejarah, dengan guncangan dirasakan hingga ke Kanada.

"Gempa bumi sebesar ini tidak sering terjadi," kata ahli geografi Jessica Irving, seperti dikutip dari Live Science, Sabtu (16/2/2019).

Titik fokus gempa diperkirakan ada di kedalaman di bawah 650 kilometer (sekitar 400 mil). Tidak seperti gempa yang menggiling kerak Bumi, energi dari "monster" ini juga dapat mengguncang seluruh mantel Bumi bak semangkuk jeli.

Getaran gempa itu menjadi salah satu yang pertama diukur pada jaringan seismik modern, memberikan para peneliti rekaman gelombang yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang memantul melalui interior planet kita.

Para periset menggambarkannya seperti gelombang suara ultrasonik yang mampu mengungkapkan perbedaan kepadatan jaringan di dalam tubuh, gelombang besar yang berdenyut melalui cairan di dalam Bumi saat keraknya bergetar, dapat digunakan untuk mengumpulkan bukti tentang apa yang terjadi di bawah Bumi.

Hanya baru-baru ini, para ahli geologi menggunakan penanda dalam gelombang ini untuk menentukan kekakuan inti Bumi. Mereka mengambil keuntungan dari intensitas gempa 1994 untuk mendeteksi hamburan gelombang, ketika guncangan lindu berpindah di antara lapisan dan mengungkapkan rincian batas atau zona transisi.

"Kita tahu bahwa hampir semua benda memiliki kekasaran permukaan dan karenanya menyebarkan cahaya. Itulah mengapa kita dapat melihat benda-benda ini --hamburan gelombang membawa informasi tentang kekasaran permukaan," kata penulis utama studi ini, Wenbo Wu, seorang ahli geologi di California Institute of Technology.

"Kami menyelidiki gelombang seismik yang tersebar, bergerak di dalam Bumi, untuk membatasi kekasaran batas Bumi sejauh 660 kilometer," imbuhnya.

Pada kedalaman tersebut, ada pembagian antara bagian bawah mantel yang lebih kaku dan zona atas yang tidak terlalu banyak tekanan, yang menciptakan diskontinuitas yang ditandai oleh munculnya berbagai mineral.

"Lubang terdalam yang pernah kami gali adalah sedalam 12 kilometer (7,5 mil), jadi tanpa terowongan skala Jules Verne, kami tidak tahu seperti apa zona transisi ini. Sampai sekarang," lanjut Wu menerangkan.

Berdasarkan gelombang yang melintasi batas (zona transisi), para peneliti telah menyimpulkan bahwa titik pertemuan antara bagian atas dan bawah mantel Bumi adalah rangkaian gunung berbentuk zig-zag.

"Dengan kata lain, topografi yang lebih kuat daripada Pegunungan Rocky atau Appalachia ada di batas 660 kilometer," kata Wu.

Garis 'bergerigi' ini memiliki implikasi signifikan bagi pembentukan Bumi. Sebagian besar massa planet kita terdiri dari mantel, jadi mengetahui bagaimana proses percampurannya dan perubahannya dengan mentransfer panas, bisa memberi tahu para ilmuwan tentang cara Bumi berkembang dari waktu ke waktu.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Mengetahui Asal Muasal Bumi

Llama muda dibakar sebagai persembahan ritual Pachamama atau Ibu Bumi di gunung La Cumbre, pinggiran La Paz, Bolivia, Rabu (1/8). Bulan Agustus, orang-orang berkumpul melakukan persembahan menghormati dewi bumi dan meminta keberuntungan. (AP/Juan Karita)

Sementara itu, dengan mengetahui perincian gunung bawah tanah ini dapat menentukan nasib berbagai model yang menggambarkan sejarah geologi Bumi, yang terus berubah.

"Apa yang menarik dari hasil ini adalah bahwa mereka memberi kami informasi baru untuk memahami nasib lempeng tektonik kuno yang telah turun ke mantel, dan di mana bahan mantel kuno mungkin masih berada," Irving menjabarkan.

"Mungkin itu bukan tempat yang mudah untuk dijelajahi, tetapi dunia yang hilang di bawah kaki kita masih menyimpan petunjuk tentang masa lalu umat manusia, jika kita tahu ke mana harus mencari," pungkasnya.

Penelitian tersebut kini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah Science (Anda dapat mengunjungi tautan berikut: science.sciencemag.org/content/363/6428/736).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya