19-2-1945: Misteri Pembantaian 980 Tentara Jepang oleh Buaya dalam Semalam

Nasib nahas dialami tentara Jepang di Pulau Ramree. Mereka kalah dari pasukan Sekutu dan menghadapi monster mengerikan: buaya air asin.

oleh Tanti YulianingsihElin Yunita Kristanti diperbarui 19 Feb 2019, 06:00 WIB
Buaya air asin atau salwater crocodile (Wikipedia/Public Domain)

Liputan6.com, Napyidaw - Tentara Kekaisaran Jepang yang menguasai Pulau Ramree di Myanmar tak kuasa menahan gempuran pasukan Sekutu yang ingin merebut dan mengubah lokasi itu jadi pangkalan udara.

Kalah dan payah setelah menjalani pertempuran berdarah, sekitar 1.000 tentara Jepang menyingkir ke area rawa-rawa yang dipadati tumbuhan bakau (mangrove). Mereka tak sudi menyerah meski harus menderita penyakit tropis yang ditularkan nyamuk. Belum lagi harus berhadapan dengan laba-laba beracun, ular dan kalajengking yang juga berbisa.

Kehidupan para serdadu di tengah rawa jauh dari nyaman. Air minum minim, apalagi makanan. Mereka di ambang kelaparan.

Pada 19 Februari 1945 malam, kejadian paling aneh dalam sejarah perang terjadi.

Para tentara Inggris yang ada di daratan mendengar teriakan-teriakan panik. Suara gaduh itu, yang diselingi deru tembakan, berasal dari kegelapan di rawa-rawa.

Tentara Sekutu di Pulau Ramree, Myanmar (Wikipedia/Public Domain)

Mereka sama sekali tak tahu apa pemicunya, hanya bisa mengira-ngira pasukan Jepang sedang menghadapi ancaman mengerikan.

Belakangan baru terkuak, ancaman mengerikan tersebut berasal dari buaya air asin (saltwater crocodile) yang menghuni rawa-rawa bakau di Pulau Ramree.

Buaya air asin adalah salah satu reptil predator paling besar di dunia. Hewan itu bisa berkembang hingga sepanjang 20 kaki atau 6 meter dan berat 2.000 pon atau 907 kilogram.

Bahkan buaya ukuran sedang bisa dengan mudah membunuh orang dewasa. Di alam liar, hewan-hewan buas tersebut bisa memangsa hewan-hewan besar seperti kerbau.

Para serdadu Negeri Matahari Terbit diserang kawanan buaya dengan sadis dan tanpa ampun.

Ahli hewan, Bruce Stanley Wright menggambarkan kengerian situasi pada malam itu dalam bukunya Wildlife Sketches Near and Far yang terbit pada 1962.

"Malam itu (19 Februari 1945) adalah saat yang paling mengerikan yang dialami para serdadu M.L (marine launch). Buaya-buaya itu, yang sontak waspada oleh pertempuran yang pecah dan bau anyir darah, berkumpul di antara bakau, berbaring dengan mata yang menyembul di atas permukaan air, menanti mangsa mereka," demikian seperti dikutip dari The Vintage News, Senin (18/2/2019).

"Mengikuti pasang surut air, buaya-buaya bergerak di antara mereka yang tewas, terluka, atau yang sehat namun terperosok dalam lumpur."

Pasukan Jepang mencoba melawan namun mereka tak berdaya melawan monster-monster itu.

50 ekor buaya air asin itu tiba di London setelah sebelumnya diberangkatkan dari Malaysia (Convention on International Trade in Endangered Species)

"Tembakan membabi buta dilepaskan di rawa hitam pekat itu, diselingi teriakan mereka yang terluka, yang remuk di rahang reptil besar itu... suara mengerikan buaya-buaya yang bergerak ke sana kemari bak hiruk-pikuk adegan neraka yang berlangsung di Bumi. Kala fajar, giliran burung-burung bangkai datang untuk membersihkan apa yang disisakan para buaya... Dari 1.000 tentara Jepang yang memasuki rawa-rawa Ramree, hanya sekitar 20 yang ditemukan dalam kondisi bernyawa."

Serangan buaya di Ramree terdokumentasi dengan baik. Namun, masih ada sengketa soal jumlah. Versi lain menyebut, ada sekitar 400 orang yang berhasil kabur dari rawa-rawa.

Buku rekor Guinness Book of World Records menyebut insiden tersebut sebagai "Most Number of Fatalities in a Crocodile Attack" -- jumlah kematian terbanyak dalam satu serangan buaya, demikian dikutip dari situs todayinhistory.blog.

Sejarawan Frank McLynn membantah klaim soal jumlah tentara Jepang yang dibantai buaya dalam bukunya The Burma Campaign.

"Ada satu masalah zoologi. Jika 'ribuan buaya' terlibat dalam pembantaian tersebut, seperti disebut dalam mitos, bagaimana monster-monster itu bertahan sebelumnya dan bagaimana mereka bisa bertahan setelahnya?," demikian seperti dikutip dari express.co.uk.


Pulau Paling Berbahaya di Dunia

Tentara Sekutu di Pulau Ramree, Myanmar (Wikipedia/Public Domain)

Karena kejadian mengerikan di masa lalu, Pulau Ramree yang sejatinya indah masuk dalam daftar pulau paling berbahaya di dunia.

Seperti dikutip dari situs atlasobscura.com, Pulau Ramree dideskripsikan sebagai lokasi di mana buaya-buaya pemangsa manusia, nyamuk pembawa malaria, dan kalajengking berbisa mengancam siapapun yang bernyali datang ke sana.

Hingga saat ini buaya air asin masih ditemukan di sekitar Pulau Ramree. Mereka bukan predator yang rewel -- kawanan binatang itu bisa dan akan memangsa apa pun yang memasuki wilayah mereka, termasuk manusia.

Selain kabar soal pembantaian di Pulau Ramree, sejumlah peristiwa bersejarah terjadi pada tanggal 19 Februari.

Pada 19 Februari 1600 pagi, Gunung Huaynaputina meletus dahsyat, abunya muncrat ke angkasa, menghalangi masuknya sinar mentari, memicu kegelapan di wilayah sekitarnya.

Gunung Huaynaputina pernah meletus dahsyat pada 1600 (Wikipedia)

Tak hanya itu, abu dan awan panas tumpah menimpa apapun yang ada dalam jangkauannya. Kilat sambar menyambar mengerikan di atas gunung.

Seperti dikutip dari buku 'A History of Civilization in 50 Disasters' karya Gale Eaton, suara letusan Huaynaputina sungguh keras, terdengar hingga ibukota Peru, Lima yang jauhnya mencapai 800 km.

Material piroklastik mengalir ke Rio Tambo. "Sungai tertutupi aliran panas, semua ikan mati," kata salah satu saksi.

Hewan-hewan yang lolos dari gempa dan panasnya material muntahan gunung akhirnya mati kelaparan. Tak ada apapun yang bisa dimakan.

Setidaknya 10 desa di sekitar Huaynaputina binasa akibat gempa dan guguran abu panas. Sebanyak 1.600 nyawa manusia melayang karenanya.

Letusan Huaynaputina mendapat skala 6 dalam Volcanic Explosivity Index. Menjadi letusan gunung terbesar dalam sejarah Amerika Selatan.

Dampak amukan Huaynaputina membuat perekonomian Peru. Tanaman dan ternak hancur, ladang subur berubah jadi gurun. Pertanian tak pulih hingga 150 tahun.

Warga sudah berupaya untuk meredakan amarah Huaynaputina, dengan membersembahkan gadis-gadis tercantik, binatang-binatang terbaik, dan bung-bunga terindah. Namun, para tumbal tak bisa membatalkan bencana.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya