Liputan6.com, Melbourne - Fenomena munculnya para dai populer seperti Ustaz Abdul Somad menandai pergeseran media dakwah di Indonesia dengan memanfaatkan media sosial. Adanya pasar untuk pesan-pesan konservatif semakin menambah popularitas mereka.
Demikian benang merah yang dapat ditarik dari seminar peran dai dalam perpolitikan Indonesia di Monash University, Melbourne, pekan lalu (15/2/2019). Seminar bertema "Are Muslim preachers pushing Indonesian politics to the right?" menampilkan pakar studi Islam Prof Julian Millie dan dosen hukum Islam Dr Nadirsyah Hosen.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Prof Julian Millie, popularitas para dai tersebut tampaknya melatarbelakangi upaya Pemerintah RI untuk membuat sejumlah aturan.
Mulai dari pelarangan organisasi HTI pada 2017, sertifikasi dai, hingga daftar 200-an dai yang diakui pemerintah melalui Departemen Agama.
"Ini merupakan perkembangan menarik, mengingat Indonesia sebenarnya relatif menikmati kebebasan sejak jatuhnya Soeharto," kata Prof Julian.
Salah satu dai populer Ustaz Abdul Somad (UAS), menurut pandangan Prof Julian, merupakan generasi kedua dai yang coba memanfaatkan medsos dalam berdakwah.
Dia memaparkan bagaimana tim di balik popularitas UAS bekerja secara tersistematis menayangkan ceramah-ceramahnya ke medsos setiap hari.
"Selain itu, banyak orang lain yang juga memposting ulang ceramah-ceramah Abdul Somad di berbagai medsos," ujarnya.
"Konten dalam industri ini juga sangat mudah, sebab dai tersebut hanya bicara dan bicara," tambahnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Mengapa UAS sangat populer?
"Saya kira karena dia menampilkan Islam sebagai jawaban atas segala persoalan," ujar Prof Julian, yang banyak meneliti mengenai kehidupan pesantren di Indonesia.
Hal itu dilakukan dengan cara mengupas persoalan sehari-hari yang dialami umatnya secara apa adanya, dan dibarengi banyak humor.
"Saya melihat orang juga menyukai Abdul Somad karena personal stylenya, gaya bicaranya sebagai orang Melayu dari Riau," kata Prof Julian seperti dilaporkan wartawan ABC Farid M. Ibrahim.
Sementara itu, Nadirsyah Hosen membuat kategorisasi para dai konservatif yang belakangan ini popular di Indonesia.
Menurut Nadirsyah yang juga pengurus NU di Australia, ada delapan kelompok dai konservatif.
"Pertama, dai mualaf seperti Steven Indra Wibowo, Irene Handono dan Felix Siauw, yang berkecenderungan menyerang agama lama mereka," kata Nadrisyah.
Kategori kedua, menurut dia, yaitu dai yang beraifiliasi dengan ormas Islam kecil di luar Muhammadiyah dan NU, seperti Riziek Shibab (FPI), Zaitun Rasmin (Wahdah Islamiyah), Bachtiar Nasir dan Tengku Zulkarnain.
"Yang ketiga adalah dai-dai dari HTI dan kategori keempat dai-dai dari PKS," ujarnya.
"Kategori kelima yaitu dai salafi seperti Khalid Basalamah dan Firanda, yang merupakan bagian dari gerakan Wahabi," kata Nadirsyah.
Dosen yang juga merupakan aktivis NU ini menyebut kategori keenam yaitu para dai konservatif NU Garis Lurus seperti Lutfi Basori dan Najih Maimoen.
"Kategori ketujuh yaitu para dai selebriti yang sudah 'hijrah' seperti Arie Untung, Peggy Melati Sukma dan Teuku Wisnu," ucapnya.
"Kategori kedelapan yaitu para dai individual yang sangat populer seperti Abdul Somad dan Arifin Ilham," tambah Nadirsyah.
Dia mengingatkan, terlalu naif untuk menggeneralisasi kelompok-kelompok dai ini dalam satu kategori.
Pasalnya, menurut Nadirsyah, mereka mengambil sikap berbeda terhadap isu-isu yang berbeda seperti isu kekhalifahan Islam, negara Islam, Pancasila, gerakan 212, penerapan hukum syariah, serta aktivitas politik seperti Pilpres saat ini.
Advertisement