Liputan6.com, Beijing - Pejabat top badan diseminasi informasi China angkat bicara seputar kritik yang dilontarkan negara dan pihak asing kepada Tiongkok mengenai kebijakannya terhadap kelompok minoritas Uighur dan lainnya di Wilayah Otonomi Xinjiang. Menurutnya, kritik tersebut merupakan "tuduhan yang tidak mendasar dan keliru".
Pernyataan itu datang di tengah besarnya sorotan dunia terhadap China, setelah panel Komite HAM PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial, pada Agustus 2018, mengatakan telah menerima laporan bahwa kira-kira 1 juta orang Uighur dan kelompok etnis minoritas lainnya ditahan sejak 2017 di "kamp atau pusat re-edukasi" di Xinjiang.
Panel juga menambahkan, fasilitas itu mirip dengan "kamp interniran besar-besaran yang diselimuti kerahasiaan"--sesuatu yang telah dibantah keras oleh pihak Beijing.
Laporan itu kemudian ramai diberitakan oleh berbagai media, mendapat perhatian dari beberapa pemerintah negara Barat dan beberapa negara Asia seperti Turki, yang menyatakan keprihatinannya atas laporan panel PBB dan mendesak Beijing menghentikan praktik itu.
Baca Juga
Advertisement
Merespons, Wakil Menteri Departemen Publisitas untuk Partai Komunis China (CPCPD), Jiang Jianguo mengatakan, "Tuduhan negara-negara atas kebijakan dalam negeri China (terhadap isu Uighur di Xinjiang) adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dan merupakan sebuah tindakan yang salah," ujarnya melalui penerjemah di Beijing, Rabu (20/2/2019).
Pernyataannya tampak berupaya untuk menanggapi pemerintah Turki, yang pekan lalu "mengutuk" perlakuan China terhadap etnis muslim Uighur sebagai "hal yang memalukan bagi kemanusiaan".
"Kebijakan asimilasi sistematis otoritas China terhadap warga etnis Uighur adalah hal yang memalukan bagi kemanusiaan," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Turki Hami Aksoy dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip dari The Guardian pada Minggu 10 Februari 2019.
Namun, Jiang Jianguo merespons dengan mengatakan, "Mereka seakan-akan tahu apa yang terjadi dan memiliki koneksi dekat dengan orang-orang Uighur di Xinjiang. Padahal mereka tidak."
"Mereka juga menghadapi ekstremisme dan terorisme di dalam negeri, jadi tidak patut bagi mereka untuk membuat tuduhan seperti itu kepada kami."
Jianguo menggarisbawahi bahwa 'kamp-kamp' yang dimaksud oleh berbagi laporan media internasional sejatinya merupakan "sekolah vokasi dan pelatihan", bagian dari program deradikalisasi terhadap "teroris dan ekstremis, residivis teroris, figur yang diduga atau berpotensi teroris dan ekstremis, serta orang yang dipaksa terlibat dalam terorisme dan ekstremisme."
Di sekolah itu, kata Jianguo, orang-orang diberikan berbagai pelatihan agar mampu "menyelaraskan bahasa dan gaya hidup bangsa China, serta mematuhi hukum negara."
Beberapa laporan mengatakan bahwa Xinjiang, terutama daerah perbatasan yang bertetangga dengan Pakistan, Kazakhstan dan negara-negara lain di Asia Tengah, menghadapi pertumbuhan ekstremisme dan terorisme sejak beberapa dekade --terutama terkait dengan gerakan Turkistan Timur, sebuah kelompok separatis yang dicap Beijing sebagai organisasi teroris.
China juga menjelaskan, bahwa orang-orang yang berhaluan ekstremisme turut berpartisipasi dengan kelompok separatis dan sejumlah orang dari kelompok etnis di Xinjiang diduga telah bergabung dengan kelompok teroris terafiliasi ISIS.
Simak video pilihan berikut:
Kata Amnesty International Indonesia
Namun, organisasi masyarakat sipil dan hak asasi manusia telah menilai skeptis dan mengkritik cara yang dilakukan China terhadap kelompok minoritas di Xinjiang, termasuk Uighur dan etnis minor lainnya.
"Memang betul bahwa negara punya tanggung jawab dalam penanganan dan penanggulangan terorisme di wilayahnya, tapi, apakah yang mereka lakukan itu sesuai dengan prinsip hak asasi manusia?" kata bidang Komunikasi dan Advokasi Amnesty International Indonesia, Haeril Halim kepada Liputan6.com di Beijing, Rabu 20 Februari 2019.
Tentang program "deradikalisasi" yang dilakukan China, Haeril mempertanyakan seputar "berapa banyak jumlah orang yang masuk dan berapa presentasenya dari total populasi atau total kelompok target, berapa fasilitas yang didirikan, apa indikator yang digunakan pemerintah untuk memasukkan 'para terduga teroris dan ekstremis' ke dalamnya, apakah pelaksanaannya sesuai standar hukum dan apakah itu satu-satunya cara?" lanjut Haeril yang meminta agar Tiongkok terbuka atas hal-hal merinci tersebut.
"Dunia juga tidak bisa mengabaikan laporan panel HAM PBB tentang 1 juta muslim Uighur yang diduga ditahan paksa. Dan jika China ingin membantah hal ini dan mengatakan angka itu tidak benar, maka mereka harus memberikan akses kepada PBB atau pemantau independen ke Xinjiang untuk membuktikan sendiri dengan metodologi ilmiah yang transparan, kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan," imbaunya.
Kendati demikian, Haeril mengapresiasi langkah China yang telah mengundang sejumlah duta besar, organisasi masyrakat dan HAM serta media dari negara asing --termasuk Indonesia-- untuk berkunjung ke Xinjiang selama beberapa waktu terakhir.
"Langkah awal itu patut diapresiasi karena menunjukkan political will dari China. Tapi, mereka harus tetap memberikan akses independen, mandiri dan transparan kepada PBB atau tim pemantau mandiri," kata aktivis Amnesty itu.
Haeril melanjutkan, hingga China memberikan akses kepada PBB atau pemantau independen untuk mengonfirmasi langsung secara mandiri di Xinjiang, maka organisasi masyarakat sipil dan HAM seperti Amnesty tetap berpegang pada temuan mereka saat ini. Hasil penelitian Amnesty pada 2018 berdasarkan testimoni ratusan orang-orang Uighur di luar China, melaporkan adanya "kamp penahanan massal" bernuansa "diskriminasi rasial".
Di sisi lain, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, pada Desember 2018, telah mengatakan bahwa kantornya mencari akses ke Xinjiang untuk memverifikasi "laporan yang mengkhawatirkan" seputar Uighur.
China pun mengatakan akan menyambut para pejabat PBB yang hendak melawat ke Provinsi Xinjiang, jika mereka mengikuti prosedur yang tepat.
"Xinjiang adalah wilayah terbuka, kami menyambut semua pihak, termasuk pejabat PBB, untuk berkunjung, asal mereka mematuhi hukum dan peraturan China, dan melalui prosedur perjalanan yang tepat," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang, Senin 7 Januari 2019, seperti dikutip dari Al Jazeera, 8 Januari 2019.
Namun dia memperingatkan bahwa para pejabat PBB juga harus "menghindari campur tangan dalam masalah-masalah domestik" dan mengadopsi sikap objektif dan netral.
Advertisement