Liputan6.com, Bener Meriah - Apa yang terlintas dalam pikiran ketika mendengar kata Bener Meriah? Bener sering kita temukan dalam cakapan lisan tak baku, yang berarti 'benar', sementara meriah berasal dari riah yang berarti 'ramai yang bersifat sukaria'.
Gabungan dua kata ini tidak merujuk ungkapan yang terlontar dari mulut seseorang ketika takjub, misal, "gilee bro, pesta tadi bener-bener meriah ya," atau pertanyaan seperti "Pesta di rumah Si Kumis bener meriah? Soalnya gue gak hadir tadi". Kata Bener Meriah yang menjadi bahasan di sini adalah nama sebuah kabupaten di Provinsi Aceh.
Namun, asal-usul penabalan nama Kabupaten Bener Meriah jauh dari istilah kemeriahan yang berarti suasana suka ria tadi. Nama tersebut ternyata berkait dengan kisah gajah putih. Nafsu berkuasa, angkara, pengkhianatan, dan kasih sayang mewarnai cerita ini.
Baca Juga
Advertisement
Syahdan, berangkatlah Sengeda ke Kesultanan Aceh Darussalam setelah mendapat wangsit dari Bener Meriah. Sosok yang sangat dia rindukan itu telah menemuinya lewat mimpi dan memberinya petunjuk.
Sang kakanda sejatinya telah tewas terkena tebas pedang algojo berhati bengis atas titah paman mereka yang haus kuasa. Sementara Sengeda selamat karena kebaikan hati seorang pembesar kerajaan.
Adik kakak ini merupakan anak Raja Linge XIII. Namun, Raja Linge XIV tidak mengakui sekali pun telah ada bukti bahkan pembesar kerajaan membenarkannya.
Raja Linge XIV mungkin saja takut dua bersaudara itu mengganggu gugat takhtanya. Raja Linge XIV menjadi raja menggantikan Raja Linge XIII, yang tak lain adalah adiknya.
Setan kiranya telah merasuk ke jiwa laiknya Rahwana yang tamak kuasa membuat raja durjana mengatur muslihat. Raja Linge XIV bersiasat agar kedua adik kakak itu lenyap dari muka bumi.
Raja Linge XIV menuduh Sengeda dan Bener Meriah membunuh, lalu mencuri pusaka milik Raja Linge XIII. Pusaka itu padahal titipan dari ibu mereka agar Raja Linge XIV percaya bahwa mereka anak Raja Linge XIII.
Raja Linge XIV menitahkan algojo menghukum adik kakak tersebut. Leher Bener Meriah putus, sementara Sengeda terselamatkan karena Cik Serule menyadari adik kakak ini benar-benar pewaris sah kerajaan, penerus Raja Linge XIII.
Singkat cerita, Sengeda sampai di Kesultanan Aceh Darussalam dengan bantuan Cik Serule. Dia mengendap-endap menuju Balai Gading lalu memainkan lukisan gajah yang dia lukis di atas sebuah upih sesuai wangsit Bener Meriah.
Sinar matahari mengenai lukisan lalu memantul ke tembok keraton membentuk bayangan gajah berwarna putih karena terkena pantulan kirana. Seorang putri sultan terkesima melihatnya.
Putri itu menghampiri dan bertanya tentang bayangan gajah berwarna putih yang dia lihat. Sengeda menjawab pertanyaan putri sesuai petunjuk dari Bener Meriah, kemudian Sang Putri merengek kepada ayahnya agar mencari gajah putih seperti yang Sengeda ceritakan kepadanya.
Sultan menitahkan Cik Serule mencari gajah putih. Cik Serule sempat kebingungan karena tidak tahu-menahu mengenai gajah putih yang menurut Sang Putri hanya ada di Tanah Gayo, wilayah kekuasaan Kerajaan Linge. Namun, Sengeda segera membisiki dan menceritakan kepada Cik Serule--orang yang kemudian hari berjasa menghantar Sengeda ke tampuk kuasa--tentang mimpinya.
Cik Serule melapor kepada Raja Linge XIV perihal permintaan Sultan. Raja yang haus kuasa ini hendak mengambil hati Sultan dengan cara menyuruh seluruh rakyatnya menyediakan semua kebutuhan untuk menangkap gajah putih.
Raja Linge XIV tidak tahu, kemenakan yang hendak dia bunuh dahulu, kini berada dalam kerumunan rakyatnya itu. Sengeda pula yang memimpin proses penangkapan gajah putih.
Gajah Putih Jelmaan Bener Meriah
Sengeda meminta penduduk kampung menyiapkan berbagai macam alat musik untuk mengiringi dia menari dan menyanyi sebagai syarat atau ritual untuk menangkap gajah putih. Konon, tarian Sengeda hari itu menjadi cikal bakal guel, tarian tradisional Tanah Gayo saat ini.
Penduduk juga ikut menari bersama Sengeda. Nyanyian Sengeda begitu memilukan. Liriknya menggambarkan kesedihan hati Sengeda yang terdalam sepeninggal Bener Meriah, saudara yang sangat dia sayangi.
Seekor gajah putih tiba-tiba muncul dari balik rimbunan. Penduduk ketakutan, tetapi Sengeda membuktikan kebenaran mimpinya dengan menjinakkan gajah tersebut.
Hati Raja Linge XIV berbunga-bunga membayangkan hadiah yang akan dia terima dari Sultan. Rombongan Kerajaan Linge berangkat ke Kesultanan Aceh Darussalam dengan membawa gajah tersebut.
Betapa senang hati putri melihat gajah putih. Saat upacara pemberian hadiah berlangsung, Raja Linge XIV yang durjana itu berniat memamerkan keberhasilannya menaklukkan Sang gajah ke seluruh penjuru negeri.
Gajah putih yang konon merupakan jelmaan Bener Meriah tiba-tiba menyemprotkan lumpur ke muka Raja Linge XIV, bahkan hendak meremukkannya. Raja Linge XIV beruntung, Sengeda melihat kejadian itu.
Seluruh penjuru negeri pun terkesima melihat Sengeda menenangkan gajah putih yang sedang mengamuk. Raja Linge XIV yang pucat lesi hanya mampu tertunduk sambil menahan malu, buah dari kesombongannya sendiri.
Sultan belakangan tahu kalau Sengeda orang yang menundukkan gajah putih sejak awal. Sengeda pula yang menyingkap borok tersembunyi Raja Linge XIV kepada Sultan.
Sengeda menghadirkan ibu kandungnya yang tak lain adalah permaisuri Raja Linge XIII yang telah mangkat, sebagai bukti. Sultan pun menjatuhkan hukuman pancung kepada Raja Linge XIV.
Demikian, Sultan menobatkan Sengeda menjadi Raja Linge XV menggantikan raja yang zalim itu.
Advertisement
Hanya Folklor atau Sejarah?
Banyak yang beranggapan, kisah gajah putih hanya folklor atau cerita rakyat belaka. Meskipun begitu, mereka membenarkan keberadaan Kerajaan Linge, kerajaan yang menjadi latar kisah ini.
"Lanskap Bener Meriah berada di dalam wilayah antara Samudera Pasai dan Linge. Dalam hal wilayah, Bener Meriah merupakan wilayah Linge. Hal ini bisa kita lihat dari jarak tempuh dan komunitas penduduknya yang bersuku Gayo," sebut Ketua Peubeudoh Sejarah Adat Budaya Aceh, Mawardi Utsman, kepada Liputan6.com, Rabu malam, 20 Februari 2019.
M. Junus Djamil menulis Riwajat asal usul wudjudnya Gadjah Putih di Keradjaan Atjeh dalam bukunya Gadjah Putih terbitan Lembaga Kebudayaan Atjeh tahun 1959. Tulisannya itu berhubungan dengan kisah berdirinya Kerajaan Linge.
Tertulis di buku tersebut di daerah Gayo berdiri Kerajaan Linge pertama. Pemimpinnya seorang raja bernama Kik Betul atau Kawee Teupat. Kerajaan itu sudah ada pada masa Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak yang berkuasa sekitar tahun 1012-1058.
Raja Lingga I adalah keturunan Batak, dia mempunyai beberapa anak. Seorang wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru adalah yang tertua, yang lain Sebayak Lingga, Meurah Johan, Meurah Lingga, Meurah Silu, dan Meurah Mege.
Sebayak Lingga merantau ke tanah leluhurnya di Karo. Raja Lingga Sibayak sebutannya kemudian hari, sementara Meurah Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaan bernama Lamkrak, Lam Oeii, Lamoeri, Lamuri, atau Lambri.
Meurah Lingga tinggal di Linge, Tanah Gayo, dan menjadi Raja Linge secara turun-termurun. Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Para pemimpin Kesultanan Daya adalah orang-orang Persia dan Arab.
Meurah Mege bermakam di Wihni Rayang, Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Raja Lingga lebih menyayangi anak bungsunya Meurah Mege, membuat anak-anaknya yang lain memilih mengembara dan mendirikan kerajaan, demikian riwayat menyebutkan.
500 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1511, muncul seorang raja keturunan Raja Linge bernama Raja Linge ke XIII. Kesultanan Aceh Darussalam dan Kerajaan Johor di semenanjung Tanah Melayu mengakui kekuasaan Raja Linge XIII.
Singkat cerita, Raja Linge XIII menikah dengan seorang putri dari Keraton Malaka. Raja Linge XIII mempunyai keturunan, yang tidak lain adalah Sengeda dan Bener Meriah.
Perlu dicatat, folklor mengenai gajah putih punya beberapa versi. Salah satu versinya adalah yang menjadi bahasan dalam tulisan ini.
Ada juga yang mengatakan, Bener Meriah berasal dari kata bener yang berarti 'bandar' dan meriah yang berarti 'ramai atau sejahtera'. Wallahualam, yang pasti, kisah Sengeda dan Bener Meriah masih hadir, mengalir dalam setiap gerak rampak dan hentakan berirama para penari guel.
Simak video pilihan berikut ini: