Liputan6.com, Jakarta - "Tambuah Ciek, Da!" Kalimat ini pasti sudah tidak asing lagi terdengar jika berada di rumah makan yang menyajikan menu masakan Minangkabau atau biasa disebut orang kebanyakan Restoran Padang.
Kalimat tersebut diucapkan jika seseorang ingin menambah nasi. Maklum, kalau lauk biasanya sudah tersaji lengkap di meja makan. Secara harfiah, "tambuah" berarti tambah, "ciek" yang berarti satu, "Da" ditujukan untuk memanggil uda atau sapaan abang dalam bahasa Minangkabau. Jadi artinya, "Tambah nasinya, Bang!"
Baca Juga
Advertisement
Namun, rupanya ada pergeseran makna dalam penggunaan kata "ciek" dalam bahasa Minangkabau. Kata tersebut tidak lagi berarti satu, melainkan menekankan perlakuan.
"Pada kalimat 'tambuah ciek' misalnya, bahwa tidak ada yang lebih penting saat itu selain menambah nasi. Walau dia mau menambah yang kedua, ketiga, dan seterusnya. Pasti dia akan bilang 'tambuah ciek'," ujar Guru Besar Pendidikan Bahasa Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta, Zuriyati kepada Liputan6.com, Kamis, 21 Februari 2019.
Pengampu mata kuliah Kajian Budaya dan Sastra Lisan ini juga memberikan contoh lain penggunaan kata "ciek" yang menandakan penekanan perlakuan, seperti pada kalimat "Lalok ciek luh" (Saya tidur dulu) atau "Pai den ciek" (Saya ikut juga).
"Dalam contoh kedua bahwa satu-satunya yang akan dikerjakan saat itu adalah lalok (tidur). Dalam ungkapan ketiga, tidak ada yang lebih penting selain pai (ikut)," dia menambahkan.
Ungkapan Idiomatik
Adapun dalam bahasa Minang berikut ini, kata "ciek" tetap bermakna satu. Seperti, "Indak ciek juo nan jaleh dek ang". Artinya, "tak satu pun yang bisa kau jelaskan". Atau "Indak ciek juo sineton nan rancak" yang artinya (tak satu pun sinetron yang bagus).
Tidak hanya kata "ciek" yang mengalami pergeseran makna, tetapi ada sejumlah kata yang memiliki makna berbeda dari arti harfiahnya, seperti kata "gadang" yang berarti besar. Kata ini bisa memiliki makna lain bila terdapat dalam ungkapan idiomatik, seperti "gadang ota" yang berarti pembohong atau "gadang sarawa" yang bermakna tak bisa berbuat apa-apa.
"Jadi pada padanan kata tersebut kata 'gadang' bukan berarti besar", Koordinator Bidang Seni dan Budaya Minang Badan Koordinasi Masyarakat Kabupaten Agam ini menandaskan.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement