Morgan Stanley: Fintech Pimpin Pasar Pembayaran Digital di RI

Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia.

oleh Agustina Melani diperbarui 21 Feb 2019, 12:54 WIB
Pedagang kaki lima (PKL) dan ojek online memadati kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (6/12). Kurangnya pengawasan petugas menyebabkan trotoar dan bahu jalan dipenuhi oleh PKL dan ojek online. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia. Hal itu mendorong Indonesia lebih dekat ke China dan India dalam ekonomi digital.

Hal disebutkan dalam laporan Morgan Stanley bertajuk financial technology (fintech) terus pimpin pasar pembayaran digital yang disusun oleh Analis Morgan Stanley Mulya Chandra dan Yulinda Hartanto, seperti dikutip pada Kamis (21/2/2019).

Dalam laporan itu menunjukkan Indonesia berada empat tahun di belakang India untuk pangsa pasar pembayaran digital. Pembayaran digital Indonesia yaitu dari transaksi nontunai melompat dari 1,3 persen pada 2016 menjadi 2,1 persen pada 2017. Kemudian 7,3 persen pada 2018.

Hal ini menempatkan Indonesia pada tingkat yang sama dengan India. Pangsa pasar pembayaran digital di India bergerak dari 6,4 persen pada 2014 hingga menjadi 10,9 persen pada 2015.

Dibandingkan China, Indonesia berda tiga tahun di belakang negara itu dalam penetrasi smartphone. Penetrasi ponsel pintar naik dari 28 persen pada 2014 menjadi 54 persen pada 2017. Jumlah ini sama dengan China sebesar 52 persen pada 2017, dan dua kali lipat dari India pada 2017.

Lonjakan pertumbuhan uang elektronik mirip dengan China pada tiga tahun lalu.  Biasanya adopsi revolusioner ditandai dengan lonjakan nilai transaksi. Ini ditunjukkan di Indonesia dengan pertumbuhan 381 persen pada 2018. Kondisi itu mirip China pada 2016.

Indonesia juga memiliki populasi yang tidak memiliki rekening bank lebih tinggi dari India dan China. Bank Dunia menyatakan Indonesia  masih memiliki 51 persen populasi yang tidak memiliki rekening bank pada 2017. Angka ini jauh lebih tinggi dari India dan China, kedua negara itu memiliki populasi 20 persen pada 2017.

Selain itu, Morgan Stanley menyebutkan pembayaran digital dari e-commerce masih tertinggal dari fintech. Secara kelompok, 90 persen responden menggunakan fintech e-wallet dan hanya 35 persen menggunakan e-commerce.

Pola penggunaan pembayaran digital di Indonesia pun berbeda dengan China dan India. Survei menunjukkan kalau penggunaan pembayaran digital di Indonesia untuk transportasi, pemesanan makanan online dan mobile. Sedangkan di China dan India, pembayaran digital untuk belanja online.

 


Potensi Capai USD 50 Miliar

Pedagang kaki lima (PKL) dan ojek online memadati kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (6/12). Keadaan ini mengganggu arus lalu lintas dan pejalan kaki. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Dalam laporan Morgan Stanley yang disusun berdasarkan survei Alphawise tersebut, pasar pembayaran Indonesia digital Indonesia terus berkembang berkat layanan fintech. Potensinya mencapai USD 50 miliar pada 2027.

Sementara perbankan tidak sepenuhnya terancam, meski pertumbuhan e-money yang eksponensial bisa mendorong terjadinya skenario terburuk dari ekspansi fitur yang dilakukan.

Financial technology memimpin ruang pembayaran digital, melampaui bank, e-commerce dan perusahaan telekomunikasi.

Dari rangkuman laporan itu disebutkan kalau transaksi e-money meningkat empat kali lipat pada 2018 menjadi Rp 47,2 triliun. Hal itu setara dengan laju pertumbuhan majemuk tahunan (CAGR) lima tahun terakhir sebesar 75 persen.

Pangsa pasar e-money sebesar 7,3 persen dari transaksi nontunai, menempatkan Indonesia empat tahun di belakang India.

Responden Morgan Stanley mengaku rata-rata mengalami float sebesar lima persen dari transaksi tahunan di akun e-money, jauh lebih rendah dari asumsi sebelumnya 100 persen-130 persen.

Namun, survei ini tidak mencakup responden dan merchant dengan saldo tinggi. Laju tinggi adopsi e-money relatif sesuai kebutuhan konsumen, sedangkan efisiensi operasional bank melalui adopsi teknologi digital masih dianggap belum memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen.

Oleh karena itu, Morgan Stanley meninjau kembali asumsinya dan mengeluarkan proyeksi peluang pembayaran digital lebih rendah sebesar USD 50 miliar dibanding sebelumnya USD 70 miliar.

Survei juga menunjukkan dampak yang tidak terlalu mengganggu untuk bank dari pada yang diduga sebelumnya, terutama rendahnya retensi float pengguna. Namun, dengan volume transaksi yang berkembang pesat, pembayaran digital financial technology tetap menjadi disrupsi yang potensial.

Beberapa faktor yang menurut Morgan Stanley dapat membuat financial technology menjadi lebih disruptif untuk bank antara lain ekspansi fitur e-money oleh regulator, meningkatnya keterbukaan merchant untuk penggunaan financial technology, dan konversi lebih cepat dari uang tunai ke nontunai.

Ini mengingat financial technology lebih unggul dari bank dalam hal kemudahan penggunaan.

Berdasarkan hasil survei itu, Morgan Stanley memberikan pandangan lebih lanjut mengenai pembayaran digital tersebut. Pertama, penggunaan dimotivasi oleh kemudahan berupa diskon dan promosi. Inilah yang membuat financial technology lebih untung ketimbang bank.

Kedua, upaya fintech membangun jaringan top-up mereka sendiri melalui pengemudi terbuktif efektif dan disukai oleh para pengguna. Hal ini juga menjadikan financial technology lebih mandiri dari pada bank yang menurut Morgan Stanley menjadi faktor risiko untuk bank.

Ketiga, keterbukaan merchant untuk mengadopsi financial technology juga menjadi tantangan utama bagi financial technology. Bank, sejauh ini unggul dibandingkan financial technology dalm hal ini adopsi merchant.

Morgan Stanley melihat bank perlu melindungi keunggulan bank ini sebagai bagian dari kemudahan yang ditawarkan untuk melawan dominasi financial technology dalam pembayaran digital.

Perubahan asumsi yang utama oleh Morgan Stanley adalah memotong rasio transaksi float/tahunan dari 1-1,3 kali menjadi 0,2-0,8 kali untuk meningkatkan nilai transaksi basis uang elektronik menjadi Rp 47 triliun pada 2018 dan Rp 12 triliun pada 2017.

Selain itu, Morgan Stanley mengurangi asumsi efisiensi biaya bank dari 20 persen menjadi 18 persen, mengingat tidak ada kemajuan berarti dalam satu tahun terakhir.

 

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya