BI Akui Regulator Kurang Cepat Hadapi Perkembangan Industri Fintech

Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia.

oleh Athika Rahma diperbarui 21 Feb 2019, 17:00 WIB
Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Liputan6.com, Jakarta - Financial Technology (fintech) memerlukan standar dan perizinan dari berbagai regulator seperti Bank Indonesia (BI) maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun, terkadang pecepatan perizinan ini belum bisa mengimbangi kecepatan perkembangan industri fintech sendiri.

Asisten Deputi Direktur Eksekutif Departemen Sistem Pembayaran BI Susiati Dewi mengaku, terkadang regulator lambat dalam menanggapi perkembangan fintech. Selain itu, kerja sama antar lembaga dalam membangun regulasi masih kurang. 

Dengan kenyataan tersebut kolaborasi antar lembaga atau antar regulator yang harusnya sudah terbangun sejak lama justru mendapat ketidakjelasan.

"Terkadang, regulator ketinggalan dalam masalah fintech. Fintech dan perbankan naik ferrari, kami masih naik bajaj," ungkapnya di Jakarta, (21/02/2019).

Susi menyampaikan, Bank Indonesia sebagai regulator harus mendukung kolaborasi fintech dengan industri perbankan di Indonesia dengan mengeluarkan regulasi, perijinan dan standardisasi.

Saat ini upaya yang dilakukan Bank Indonesia dalam mendorong kerja sama fintech dengan industri perbankan mencakup beberapa action plan penguatan ekonomi digital:

- Mendorong prinsip fintech global

- Meningkatkan literasi digital

- Mempecerpat keterbukaan

- Menyediakan fondasi infrastruktur dasar

- Memperkuat koordinasi dan harmonisasi

- Melanggengkan kerjasama internasional dan regional.


Morgan Stanley: Fintech Pimpin Pasar Pembayaran Digital di RI

Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia. Hal itu mendorong Indonesia lebih dekat ke China dan India dalam ekonomi digital.

Hal disebutkan dalam laporan Morgan Stanley bertajuk financial technology (fintech) terus pimpin pasar pembayaran digital yang disusun oleh Analis Morgan Stanley Mulya Chandra dan Yulinda Hartanto, seperti dikutip pada Kamis (21/2/2019).

Dalam laporan itu menunjukkan Indonesia berada empat tahun di belakang India untuk pangsa pasar pembayaran digital. Pembayaran digital Indonesia yaitu dari transaksi nontunai melompat dari 1,3 persen pada 2016 menjadi 2,1 persen pada 2017. Kemudian 7,3 persen pada 2018. 

Hal ini menempatkan Indonesia pada tingkat yang sama dengan India. Pangsa pasar pembayaran digital di India bergerak dari 6,4 persen pada 2014 hingga menjadi 10,9 persen pada 2015.

Dibandingkan China, Indonesia berda tiga tahun di belakang negara itu dalam penetrasi smartphone. Penetrasi ponsel pintar naik dari 28 persen pada 2014 menjadi 54 persen pada 2017. Jumlah ini sama dengan China sebesar 52 persen pada 2017, dan dua kali lipat dari India pada 2017.

Lonjakan pertumbuhan uang elektronik mirip dengan China pada tiga tahun lalu.  Biasanya adopsi revolusioner ditandai dengan lonjakan nilai transaksi. Ini ditunjukkan di Indonesia dengan pertumbuhan 381 persen pada 2018. Kondisi itu mirip China pada 2016.

Indonesia juga memiliki populasi yang tidak memiliki rekening bank lebih tinggi dari India dan China. Bank Dunia menyatakan Indonesia  masih memiliki 51 persen populasi yang tidak memiliki rekening bank pada 2017. Angka ini jauh lebih tinggi dari India dan China, kedua negara itu memiliki populasi 20 persen pada 2017.

Selain itu, Morgan Stanley menyebutkan pembayaran digital dari e-commerce masih tertinggal dari fintech. Secara kelompok, 90 persen responden menggunakan fintech e-wallet dan hanya 35 persen menggunakan e-commerce.

Pola penggunaan pembayaran digital di Indonesia pun berbeda dengan China dan India. Survei menunjukkan kalau penggunaan pembayaran digital di Indonesia untuk transportasi, pemesanan makanan online dan mobile. Sedangkan di China dan India, pembayaran digital untuk belanja online.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya