Liputan6.com, Jakarta - Seiring berkembangnya zaman, Industri financial Technology (fintech) kian gencar diperkenalkan ke berbagai pihak. Tidak hanya konsumen, namun juga ke industri perbankan. Industri fintech akan lakukan kerjas ama dengan industri perbankan untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien.
Meski begitu, kerja sama ini dinilai masih memerlukan diskusi yang lebih lanjut terutama dari pihak perbankan. Hal tersebut disampaikan Rico Usthavia Frans, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri dalam Seminar Nasional Kolaborasi Industri Perbankan dan Fintech dalam Sistem Pembayaran di Jakarta.
Baca Juga
Advertisement
"Ada beberapa aspek (antara fintech dengan industri perbankan) yang kita nilai tidak ekuilibrium, misalnya dari sisi revenue. Bank masih konvensional ambil revenue mengais dari biaya admin, biaya transfer, dan sebagainya. Sedang fintech justru malah kasih cashback saat bayar listrik," ungkapnya di Jakarta, (21/02/2019).
Rico juga menilai selama ini perbankan tidak pernah mendapat komisi dari transaksi yang dihasilkan fintech, padahal konsumennya berasal dari nasabah perbankan.
Dari sisi rekrutmen pegawai, Bank masih merekrut dengan latar belakang pendidikan dan keahlian teknis tertentu. Sementara fintech merekrut semua kalangan dengan fokus soft skill seperti kepemimpinan, manajemen tim dan lainnya.
Rico menyatakan, nanti akan ada konvergensi dari seluruh aspek itu jika fintech berkolaborasi dengan industri perbankan.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Morgan Stanley: Fintech Pimpin Pasar Pembayaran Digital di RI
Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia. Hal itu mendorong Indonesia lebih dekat ke China dan India dalam ekonomi digital.
Hal disebutkan dalam laporan Morgan Stanley bertajuk financial technology (fintech) terus pimpin pasar pembayaran digital yang disusun oleh Analis Morgan Stanley Mulya Chandra dan Yulinda Hartanto, seperti dikutip pada Kamis (21/2/2019).
Dalam laporan itu menunjukkan Indonesia berada empat tahun di belakang India untuk pangsa pasar pembayaran digital. Pembayaran digital Indonesia yaitu dari transaksi nontunai melompat dari 1,3 persen pada 2016 menjadi 2,1 persen pada 2017. Kemudian 7,3 persen pada 2018.
BACA JUGA
Hal ini menempatkan Indonesia pada tingkat yang sama dengan India. Pangsa pasar pembayaran digital di India bergerak dari 6,4 persen pada 2014 hingga menjadi 10,9 persen pada 2015.
Dibandingkan China, Indonesia berda tiga tahun di belakang negara itu dalam penetrasi smartphone. Penetrasi ponsel pintar naik dari 28 persen pada 2014 menjadi 54 persen pada 2017. Jumlah ini sama dengan China sebesar 52 persen pada 2017, dan dua kali lipat dari India pada 2017.
Lonjakan pertumbuhan uang elektronik mirip dengan China pada tiga tahun lalu. Biasanya adopsi revolusioner ditandai dengan lonjakan nilai transaksi. Ini ditunjukkan di Indonesia dengan pertumbuhan 381 persen pada 2018. Kondisi itu mirip China pada 2016.
Indonesia juga memiliki populasi yang tidak memiliki rekening bank lebih tinggi dari India dan China. Bank Dunia menyatakan Indonesia masih memiliki 51 persen populasi yang tidak memiliki rekening bank pada 2017. Angka ini jauh lebih tinggi dari India dan China, kedua negara itu memiliki populasi 20 persen pada 2017.
Selain itu, Morgan Stanley menyebutkan pembayaran digital dari e-commerce masih tertinggal dari fintech. Secara kelompok, 90 persen responden menggunakan fintech e-wallet dan hanya 35 persen menggunakan e-commerce.
Pola penggunaan pembayaran digital di Indonesia pun berbeda dengan China dan India. Survei menunjukkan kalau penggunaan pembayaran digital di Indonesia untuk transportasi, pemesanan makanan online dan mobile. Sedangkan di China dan India, pembayaran digital untuk belanja online.
Advertisement