Liputan6.com, Jakarta - Orang merasa takut akan kehadiran hantu adalah hal lumrah, meski banyak di antaranya yang berusaha tetap skeptis.
Namun, pernahkah Anda berpikir sebaliknya, apa yang dirasakan hantu itu sendiri? Apakah mereka sedih mengetahui mereka tidak bernyawa? Apakah mereka senang menakuti manusia?
Studi tentang emosi hantu bisa disebut salah satu disiplin ilmu psikologi yang berkembang paling pesat saat ini, demikian sebagaimana dikutip dari situs Psychological Science, Kamis (21/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Berbagai laboratorium emosi di seluruh dunia, terutama Pusat Penelitian Emosi, Ectoplasma, dan Ilmu Psikologi yang baru didirikan di Università del Purgatorio di Milan, Italia, mengalihkan perhatian mereka pada studi inkorporeal, alias ilmu yang mengamati hal tak kasat mata.
Selain itu, penelitian emosi hantu telah mendapatkan banyak kredibilitas dari lembaga-lembaga pendanaan, karena merupakan satu-satunya bidang dalam psikologi di mana tokoh-tokoh seperti Jean Piaget dan Sigmund Freud tetap hadir sebagai rujukan literatur.
Ilmu tentang emosi hantu berasal dari salah satu penilitian Charles Darwin, yang mengusulkan bahwa emosi tertentu diturunkan dari yang hidup ke yang mati melalui evolusi.
Salah satu karya agungnya, The Expression of the Emotions in Man and Animus and On the Origin of Specters, adalah literatur klasik tentang upaya menguak misteri keabadian.
Sementara itu, William James --yang tertarik pada isu spiritualisme-- terkenal menuangkan pendapat yang berbunyi: "hantu tidak membuat kita merasa takut, melainkan pengalaman ketakutan yang memanggil hantu datang ke kita".
Pendapat tersebut kemudian dikenal luas sebagai Teori Emosi James-Doppelgäng.
Simak video pilihan berikut:
Teori Emosi Dasar Hantu
Di zaman modern, ada beberapa aliran pemikiran tentang emosi hantu. Yang paling terkenal adalah teori emosi dasar hantu, yang mengemukakan tiga kriteria, yakni:
- Emosi harus ada sejak saat kematian.
- Memiliki ekspresi yang unik dan seram.
- Dapat ditemukan pada hantu dari tiruan makhluk lain.
Emosi hantu yang paling banyak dipelajari adalah tentang keinginan untuk menakut-nakuti, di mana dikenal dalam literatur sebagai "Boo". Secara khusus, emosi yang tampak saat hantu sedang menakut-nakuti adalah ekspresi wajah menganga dengan mata terbelalak dan mulut terbuka lebar.
Advertisement
Teori Psikologi Evolusioner
Teori kedua berasal dari psikologi evolusioner, di mana pertanyaan utamanya adalah soal keturunan. Apakah emosi hantu dirancang sesuai leluhur hominini kita yang binasa di sabana Afrika?
Atau apakah kedatangan mereka meluas lebih jauh ke belakang, ke nenek moyang primata kita yang tewas jatuh dari pohon?
Catatan khusus menyebut psikologi evolusioner berkaitan dengan hantu yang tercipta karena pemenggalan kepala. Untuk beberapa alasan, roh-roh ini sering bangkit bersama dan membentuk kelompok sosial yang besar.
Teori ini menyebut bahwa para hantu tanpa kepala tampak menakut-nakuti manusia, sebagai upaya mendapatkan bagian-bagian kepala dan wajahnya yang hilang.
Teori Konstruksi Psikologis
Aliran pemikiran ketiga berakar pada konstruksi psikologis, yang terkadang disalahartikan sebagai pendekatan "dimensi lain".
Pikiran hantu dikatakan mengandung bahan-bahan dasar yang menggabungkan dan berinteraksi dengan cara yang kompleks, untuk menghasilkan fenomena supernatural, termasuk emosi.
Dalam pola pikir konstruksi, emosi seperti "Boo" bukan esensi yang seragam, tetapi kategori luas dengan variasi yang sangat besar.
Sebagian besar ilmuwan setuju dengan teori ini, bahwa emosi hantu dapat dipetakan ke sirkuit berbentuk satu dimensi, dengan sumbu memanjang mulai dari ekspresi "Ramah" ke "Menakutkan".
Advertisement