Liputan6.com, Jakarta - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan, China melalui kerangka The Belt and Road Initiative akan terus memperlebar invasi dagangnya hingga ke Indonesia.
Ekonom INDEF, Muhammad Zulfikar Rakhmat mengingatkan, tak hanya investasi dagang saja yang Negeri Tiongkok bawa ke Indonesia, tapi juga pengaruh budaya.
"Ke depannya investasi dan pengaruh China akan berkembang pesat di Indonesia. Ini tidak hanya investasi, tapi juga upaya untuk melegitimasi budaya. Isu ini penting untuk dipersiapkan oleh siapapun yang akan memimpin negeri ini di masa depan," tegas dia dalam sesi diskusi online, ditulis Jumat (22/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia kembali mengingatkan, pekerja China akan terus membanjiri Indonesia lantaran Negeri Tirai Bambu tersebut lebih senang memakai jasa tenaga kerjanya sendiri ketimbang lokal.
Oleh karena itu, ia mendorong Pemerintah RI untuk menyiapkan perisai dalam bentuk kebijakan agar bisa menahan serbuan invasi dagang China.
"Yang jelas, Indonesia sebagai negara yang memiliki posisi strategis di mata China harusnya punya bargaining power untuk berbicara dengan China," imbuhnya.
"Jangan asal nerimo ato tunduk. China butuh Indonesia, bukan sebaliknya," dia menambahkan.
Defisit Neraca Perdagangan dengan China Melebar, Pemerintah Harus Waspada
Sebelumnya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti defisit perdagangan antara Indonesia-China yang cukup besar. Defisit perdagangan dengan China itu melemahkan perekonomian dalam negeri.
Oleh karenanya, lembaga menyerukan kepada pemerintah untuk menaruh perhatian lebih demi mengurangi defisit neraca perdagangan dengan negeri China.
Ekonom senior Indef Didik J Rachbini mengungkapkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), defisit transaksi berjalan negara sepanjang tahun lalu merupakan yang terburuk selama 20 tahun terakhir.
"Kita baru mendengar dari BPS bahwa defisit neraca berjalan merupakan yang terbesar sepanjang sejarah 20 tahun terakhir ini. Ini apa artinya? sektor luar negeri kita lemah, kedodoran, kehilangan strategi ekonomi dan dagang," keluhnya, dikutip Jumat (22/2/2019).
Sebagai informasi, BPS pada tahun lalu mencatat, neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2018 terhitung defisit hingga USD 8,57 miliar.
Lebih lanjut, Didik mengatakan, faktor utama membengkaknya neraca perdagangan tahun lalu yakni lantaran Indonesia mengalami defisit besar dengan China. Oleh sebabnya, ia meminta agar hal ini menjadi perhatian dan strategi pemerintah ke depan.
"Jika tidak maka ekonomi Indonesia akan sangat lemah, nilai tukar rupiah akan rapuh dan kepastian bisnis tidak kuat. Ini merupakan isu penting yang terkait dengan nasib ekonomi Indonesia ke depan," imbuhnya.
"Saya melihat isu ekonomi politik Indonesia dengan China belum menjadi isu yang diangkat oleh calon presiden," dia menambahkan.
Dia juga turut mengutip langkah Amerika Serikat yang memukul bendera perang setelah mengetahui Negeri Paman Sam menderita defisit perdagangan dengan China hingga sekitar USD 375 miliar.
Menurutnya, Pemerintah RI pun harus ikut bertindak agar perekonomian nasional ke depannya tidak terus melemah.
"Sekarang perang itu sedang berlangsung dan mempengaruhi ekonomi global. Indonesia defisit dagang cuma nerimo saja, padahal ini melemahkan ekonomi ke depan," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement