IHSG Menguat dalam Sepekan, Ini Faktor Pendorongnya

Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Ini didorong kenaikan saham kapitalisasi besar.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Feb 2019, 10:00 WIB
Pekerja berbincang di dekat layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Pada pemukaan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini naik tipis 0,09% atau 4,88 poin ke level 5.611,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat selama sepekan. Ini didorong kenaikan saham kapitalisasi besar.

Mengutip laporan PT Ashmore Assets Management Indonesia, Sabtu (23/2/2019), IHSG naik 1,76 persen pada periode 15 Februari di posisi 6.389,09 menjadi 6.501,38 pada 22 Februari 2019. Penguatan IHSG juga terjadi usai alami konsolidasi dalam dua pekan karena aksi jual investor asing. Pada pekan ini, investor asing jual saham USD 5,5 juta atau sekitar Rp 77,32 miliar.

Selain itu, saham kapitalisasi besar yang masuk indeks LQ45 juga naik 2,06 persen. Kenaikan di atas IHSG dan saham berkapitalisasi kecil.

Di pasar obligasi, indeks obligasi hanya naik 0,38 persen. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun ke posisi 7,9 persen. Nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar AS ke posisi 14.058. Pada pekan ini, ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan global termasuk IHSG.

Pertama, perkembangan negosiasi perdagangan AS-China masih jadi perhatian pelaku pasar. Para negosiator AS dan China sedang kerjakan berbagai nota kesepahaman yang akan jadi dasar kesepakatan perdagangan akhir. Hal itu berdasarkan sumber.

Adapun nota kesepahaman (MoU) itu mencakup bidang termasuk pertanian, hambatan non-tarif, jasa, transfer teknologi, dan kekayaan intelektual.

Meski demikian, mekanisme penegakan masih belum jelas, tetapi kemungkinan akan menjadi ancaman kalau tarif akan kembali diberlakukan jika kondisi tidak terpenuhi.

"Tidak ada terobosan yang diharapkan selama pembicaraan pada pekan ini tetapi ada upaya yang sedang berlangsung untuk berpotensi memperpanjang batas waktu 1 Maret agar tarif AS naik pada barang China," ujar sumber itu.

Adapun Liu He, Kepala Negosiator China akan bertemu dengan Presiden AS Donald Trump pada Jumat pekan ini. Ashmore menilai, negosiasi perdagangan AS-China akan menjadi katalis penting bagi pasar. Hal ini dapat menjadi sentimen global positif dan sebaliknya.

Kedua, perkembangan Brexit juga dicermati. Perdana Menteri Inggris Theresa May mengirim dua menteri utamanya ke Brussel, Belgia untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan Brexit. "Tidak ada terobosan, tetapi pembicaraan lebih lanjut akan berlangsung," ujar seorang pejabat Uni Eropa.

May membutuhkan setidaknya beberapa bukti kemajuan pada pekan depan ketika anggota parlemen sekali lagi mengancam untuk merebut kendali atas proses Brexit darinya.

 


Selanjutnya

Layar indeks harga saham gabungan menunjukkan data di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Perdagangan bursa saham 2018 dibuka pada level 6.366 poin, angka tersebut naik 11 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ketiga, neraca perdagangan Jepang. Jepang tercatat alami defisit perdagangan 1.145 miliar yen pada Januari 2019 dibandingkan periode sebelumnya 948 miliar yen. Jepang alami penurunan ekspor 8,4 persen dan impor susut 0,6 persen.

Dari dalam negeri, keputusan Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuan juga jadi perhatian pelaku pasar.

BI mempertahankan 7 day reverse repo rate 6 persen. Hal ini untuk meningkatkan stabilitas eksternal terutama menurukan defisit transaksi berjalan ke tingkat aman.

BI mengharapkan, defisit transaksi berjalan sekitar 2,5 persen. Selain itu, langkah BI itu juga untuk mempertahankan daya tarik aset keuangan domestik.

BI akan terapkan kebijakan kehati-hatian makro akomodatif ke depan dan memperkuat sistem pembayaran untuk memperluas pembiayaan ekonomi. Keputusan suku bunga yang tidak berubah juga didukung the Fed yang lebih dovish.

 


Hal yang Dicermati ke Depan

Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Karena hal tersebut, Jokowi memberi apresiasi kepada seluruh pelaku industri maupun otoritas pasar modal. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lalu hal apa yang dicermati ke depan?

Ashmore melihat salah satunya data ekonomi makro. Apakah data ekonomi makro mengkhawatirkan pelaku pasar? Usai aliran dana asing yang masuk pada Januari, Ashmore melihat pasar berubah gelisah saat melihat neraca perdagangan yang lebih lemah dari yang diharapkan.

Tercatat neraca perdagangan defisit USD 1,2 miliar. Hal ini melebihi prediksi konsensus. Defisit neraca perdagangan pada Januari melebar itu menjadi katalis negatif bagi rupiah ke posisi 14.000 per dolar AS dan imbal hasil obligasi mencapai 8 persen.

BI memang menekankan defisit transaksi berjalan pada pertemuan terakhir pada Januari. Sementara BI mempertahankan suku bunga menunjukkan upaya pemerintah untuk mengurangi defisit neraca berjalan tetap menjadi fokus.

Namun, konsumsi domestik yang kuat pada Januari dan pertumbuhan global yang lambat hasilkan defisit perdagangan yang mengancam prospek defisit transaksi berjalan pada kuartal I 2019.

Lalu apa yang akan memberi kenyamanan bagi BI dan investor?

Meski kemungkinan defisit transaksi berjalan lebih lemah dari yang diperkirakan pada kuartal I 2019, upaya pemerintah untuk kurangi defisit transaksi berjalan tetap utuh. Yakni meningkatkan produksi minyak kelapa sawit (CPO) dan kilangnya, pariwisata dan penggunaan konten lokal.

Ashmore juga melihat tingginya impor saat ini juga disebabkan konsumsi domestik yang kuat dan juga diperkuat peningkatan likuiditas yang diciptakan saat pemilihan umum.

"Ini akan berkurang pasca pemilihan dan mengurangi tekanan defisit transaksi berjalan terutama kuartal II," tulis catatan Ashmore.

Dengan aliran modal yang kuat masuk pada Januari, penerbitan obligasi denominasi dolar AS dan investasi langsung pada kuartal I 2019 akan mendorong neraca pembayaran dalam kondisi surplus.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya