Pemberitaan soal Bunuh Diri Tak Boleh Asal-Asalan

Pemberitaan bunuh diri yang ditulis jurnalis membutuhkan perlakuan khusus.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 26 Feb 2019, 08:00 WIB
Ada perlakuan khusus terkait pemberitaan bunuh diri. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pemberitaan bunuh diri membutuhkan perlakuan khusus bagi para jurnalis yang menulisnya. Penulisan berita bunuh diri tidak bisa disamakan dengan berita pada umumnya.

Uraian tulisan bunuh diri dengan metode atau cara bunuh diri yang rinci bisa memicu seseorang untuk bunuh diri, sehingga berpotensi menyebabkan bunuh diri tiruan (copy cat). Dalam psikologi, efek ini dikenal dengan istilah efek Werther.

Berdasarkan hasil survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Komunitas Into The Light dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, penting adanya pedoman pemberitaan bunuh diri.

“Secara umum, setiap kelompok jurnalis menganggap pentingnya pedoman pemberitaan bunuh diri untuk meminimalisasi dampak dari kejadian bunuh diri," jelas Pengurus Komunitas Into The Light Venny Asyita dalam keterangan rilis pada Minggu, 24 Februari 2019.

Survei yang dilakukan Januari sampai Februari 2019 bertujuan melihat, peran jurnalis dalam memahami isu bunuh diri.

“Pemberitaan bunuh diri dengan memunculkan metode yang jelas dan dramatis membuat masyarakat gelisah. Apalagi ditambah penggunaan media sosial yang semakin liar,” lanjut Venny.

Contoh memberitakan bunuh diri yang tepat terdapat dalam laman Reporting on Suicide. Jurnalis harus menghindari menampilkan foto/video dari lokasi atau metode kematian, keluarga yang berduka, teman atau pemakaman. Sebaliknya, gunakan foto sekolah/pekerjaan atau keluarga selama yang bersangkutan masih hidup.

 

 

Simak video menarik berikut ini:


Pedoman pemberitaan bunuh diri

Harus ada pedoman pemberitaan bunuh diri. (iStockphoto)

Pedoman pemberitaan bunuh diri untuk memperkuat fungsi pers sebagai pemberi edukasi ke publik. Pengacara LBH Pers, Gading Yonggar Ditya menyampaikan, pers nasional memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan.

Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Di kalangan pekerja media, isu bunuh diri memang hal yang asing, tapi kami melihat bahwa semakin banyak pengalaman yang dimiliki jurnalis akan meningkatkan pengetahuan mereka terhadap isu umum bunuh diri yang salah,” ungkap Gading.

Jurnalis juga harus menyadari Pasal 8 ayat 7 UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, yang mengamanatkan media massa untuk turut berperan dalam upaya promotif kesehatan jiwa.

“Komentar negatif dalam peristiwa bunuh diri dapat membuat orang dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi enggan mencari bantuan lantaran takut terkena stigma dan penghakiman dari orang banyak,” ucap Gading.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya