Liputan6.com, Nuuk - Pemanasan global dikatakan oleh para ilmuwan bisa membawa berkah untuk penduduk di Greenland. Negara pulau ini dikatakan dapat menjadi eksportir pasir besar akibat mencairnya lapisan es di sana dan larutnya sebagian besar endapan ke laut.
Penambangan pasir dan kerikil yang banyak digunakan dalam industri konstruksi dapat meningkatkan kesejahteraan warga yang bermukim di Greenland, yang kini berjumlah 56 ribu jiwa.
Advertisement
Greenland, yang terletak di antara Samudra Arktik dan Atlantik di Amerika Utara, punya otonomi untuk mengatur pemerintahannya sendiri, meski tetap masuk dalam wilayah kekuasaan Denmark. Pulau ini juga sangat bergantung pada subsidi dari Kopenhagen.
Dengan menambang pasir, Greenland dapat mengambil manfaat dari tantangan yang dibawa oleh perubahan iklim, demikian menurut tim riset Denmark dan Amerika Serikat yang diterbikan di jurnal Nature Sustainability.
Studi baru berjudul "Janji dan Bahaya Eksploitasi Pasir di Greenland" itu membahas perihal Samudra Arktik yang harus menuai risiko penambangan pesisir pantai, terutama bagi industri perikanan.
Pemanasan global mengakibatkan mencairnya lapisan es di Greenland, yang memiliki jumlah volume air yang cukup untuk menaikkan permukaan laut global sekitar tujuh meter --jika semuanya mencair-- dan membawa lebih banyak pasir dan kerikil ke pesisir fjord (semacam teluk yang berasal dari lelehan gletser).
"Anda dapat menganggapnya (es yang mencair) sebagai keran yang mencurahkan sedimen ke pantai," ujar ketua penulis penelitian, Mette Bendixen, seorang periset di Institut Penelitian Arktik dan Alpen di Universitas Colorado. Sebagaimana dilansir dari VOA Indonesia pada Minggu (24/2/2019).
Permintaan pasir di seluruh dunia mencapai sekitar 9,55 miliar ton pada 2017 dengan nilai pasar US$ 99,5 miliar (Rp 1,4 triliun) dan diproyeksikan mencapai hampir US$ 481 miliar (Rp 6,7 triliun) pada 2100.
"Biasanya, orang-orang yang tinggal di kawasan Arktik adalah yang paling merasakan perubahan iklim --erosi pantai, lebih sedikitnya lapisan es yang membeku di bawah tanah," kata Bendixen. "Ini adalah situasi yang unik karena mencairnya lapisan es."
David Boertmann dari Universitas Aarhus --yang tidak tergabung dalam studi ini-- mengatakan, sudah ada beberapa penambangan pasir lokal untuk industri konstruksi domestik di Greenland.
Kerugian untuk Greenland,yang umumnya juga terjadi pada proyek-proyek pertambangan lainnya di pulau itu mulai dari uranium hingga logam tanah jarang (rare earth mineral), termasuk jarak ke pasar di Eropa dan Amerika Utara, katanya.
Meski begitu, Bendixen menyampaikan, pasir sudah sering diangkut untuk jarak yang jauh seperti ke Los Angeles dari Vancouver atau dari Australia ke Dubai.
"Saat ini, material itu adalah sumber daya yang murah tapi akan menjadi lebih mahal nantinya," Bendixen menggarisbawahi.
Sudi tersebut mengatakan bahwa pasir dan kerikil juga dapat digunakan di masa depan untuk memperkuat pantai dan garis pantai dari naiknya permukaan air laut, yang sebagian disebabkan oleh pencairan lapisan es di Greenland.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Terkuak, Ada Kawah yang Lebih Besar dari Kota Paris di Bawah Lapisan Es Greenland
Sementara itu, salah satu kawah terbesar dan termuda yang pernah ada, hasil benturan dengan asteroid, telah ditemukan satu kilometer di bawah lapisan es di Greenland.
Kawah Hiawatha berdiameter 31 kilometer, lebih besar dari Paris, dan tak seperti situs benturan sejenis lainnya, kawah ini masih memiliki bentuk mangkuk kawah yang klasik, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis 15 November 2018.
Kawah ini masuk dalam 25 kawah terbesar yang pernah ditemukan di Bumi dan salah satu yang termuda. Para peneliti mengatakan kawah ini tercipta selama 3 juta tahun terakhir.
Pemodelan komputer menunjukkan asteroid yang membentur itu lebarnya lebih dari satu kilometer.
Para peneliti pertama kali merasakan lokasi kawah pada pertengahan 2015 berkat Operasi Jembatan Es NASA, yang terbang di atas area seperti Glasier Hiawatha untuk melacak perubahan es di kutub.
Sebongkah besar meteorit besi yang ditemukan di dekat Hiawatha bertahun-tahun lalu saat ini berada di halaman Museum Sejarah Alam di Kopenhagen dan para peneliti di sana-lah yang menyimpulkan keterkaitannya.
Setelah menerima peta topografi bebatuan baru di bawah es, berkat ekspedisi NASA selama dua dekade di daerah itu, para ilmuwan mulai melihat lebih dekat pada bagian "semi-melingkar" di tepi lapisan es.
Pada bulan Mei 2016, sebuah pesawat penelitian Jerman memetakan depresi sekitar 300 meter di bawah setengah lingkaran itu.
"Kawah ini sangat terawat baik dan itu mengejutkan karena es gletser adalah agen erosif yang sangat efisien yang akan dengan cepat menghilangkan jejak benturannya," kata penulis utama studi tersebut, Kurt Kjaer.
Mereka juga menemukan es tertua di gletser itu telah mengalami gangguan besar menjelang akhir zaman es terakhir dan (mineral) kuarsa di daerah sekitarnya menunjukkan bukti adanya dampak kekerasan yang besar ribuan tahun lalu.
Advertisement