Liputan6.com, Jakarta Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyatakan, Indonesia akan menjadi salah satu produsen baja nirkarat (stainless steel) terbesar di dunia. Hal ini seiring berdirinya pabrik-pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Morowali, Sulawesi Tengah dan Konawe, Sulawesi Tenggara.
Dia menjelaskan, Konawe akan mampu memproduksi stainless steel dengan kapasitas sebanyak 3 juta ton per tahun. Sedangkan di Morowali sudah menghasilkan 3,5 juta ton stainless steel per tahun.
Advertisement
Menurut Airlangga, apabila Indonesia mampu menembus kapasitas 6 juta ton stainless steel per tahun, maka Indonesia akan menjadi produsen baja nirkarat keempat terbesar di dunia.
"Jadi 3 ton di kawasan Konawe dan 3 juta ton di Morowali, jadi 6 juta ton. Ini tahun depan dua-duanya sudah berproduksi. Morowali kan sudah produksi, jadi tinggal tunggu di sini (Konawe). Tahun depan ini bisa selesai dan kita menjadi nomor 4 di dunia, setelah China, Eropa dan kita," ujar dia di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (25/2/2019).
Selain itu, lanjut dia, akan menjadikan pulau Sulawesi sebagai pusat industri berbasis stainless steel berkelas di dunia. Hal ini tidak hanya akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi di Sulawesi saja, tetapi juga berdampak positif bagi ekspor Indonesia ke depan.
"Sebagai komponen utama, sektor industri logam berpotensi memberikan kontribusi besar terhadap pembangunan ekonomi nasional melalui peningkatan added value sehingga akan terjadi multiplier effect dengan tumbuhnya industri lain serta terjadinya aktivitas sosial ekonomi, yang pada akhirnya akan menjadi push factor bagi peningkatan daya saing ekonomi bangsa," tandas dia.
Menperin Resmikan Pembangunan Kompleks Petrokimia Senilai Rp 53 Triliun
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meresmikan pembangunan kompleks petrokimia milik PT Lotte Chemical Indonesia (LCI). Fasilitas produksi senilai USD 3,5 miliar atau sekitar Rp 53 triliun tersebut dibangun di Cilegon, Banten.
Airlangga mengungkapkan, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong tumbuhnya industri petrokimia di Indonesia untuk semakin memperkuat struktur manufaktur nasional dari sektor hulu sampai hilir. Sebab, industri petrokimia menghasilkan berbagai komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pada industri kemasan, tekstil, alat rumah tangga, hingga komponen otomotif dan produk elektronika.
“Industri petrokimia sama pentingnya seperti industri baja, sebagai mother of industry. Untuk itu, kita perlu menjaga situasi lingkungan dan iklim usaha yang stabil agar proyek ini berhasil terlaksana dengan baik sehingga dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian secara keseluruhan,” ujar dia pada acara Peletakan Batu Pertama (Ground Breaking) Pembangunan Komplek Petrokimia PT LCI di Cilegon, Banten, Jumat (7/12/2018).
Baca Juga
Berdasarkan karakteristiknya, lanjut dia, industri petrokimia dikategorikan sebagai jenis sektor manufaktur yang padat modal, padat teknologi dan lahap energi sehingga perlu mendapat perhatian khsusus dari pemerintah untuk langkah pengembangan yang berkelanjutan.
“Di dalam peta jalan Making Indonesia 4.0, telah ditetapkan industri kimia menjadi salah satu sektor yang mendapatkan prioritas pengembangan agar menjadi pionir dalam penerapan revolusi industri 4.0,” kata dia.
Pabrik dengan luas area 100 hektare ini memiliki total kapasitas produksi naphta cracker sebanyak 2 juta ton per tahun. Bahan baku itu selanjutnya diolah untuk menghasilkan 1 juta ton ethylene, 520 ribu ton propylene, 400 ribu ton polypropylene dan produk turunan lainnya yang juga bernilai tambah tinggi.
Produksi PT Lotte Chemical Indonesia tersebut untuk memenuhi permintaan domestik maupun global. Dalam proyek pembangunan infrastukturnya, diproyeksi menyerap tenaga kerja langsung hingga 1.500 orang dan dengan tenaga kerja tidak langsung bisa mencapai 4.000 orang pada periode 2019-2023.
“Langkah ini seiring arahan Bapak Presiden Jokowi untuk terus menggenjot investasi, industrialisasi, dan hilirisasi. Upaya ini diyakini meningkatkan perekonomian kita secara fundamental, dengan penghematan devisa dari substitusi impor, dan akan pula dapat memperbaiki neraca perdagangan karena berorientasi ekspor,” ungkap dia.
Advertisement