Liputan6.com, Jakarta - Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi negara raksasa pasar digital ekonomi di Asia. Peluang itu bisa dilihat dari sisi jumlah pengguna internet, infrastrukstur telekomunikasi yang mulai merata, serta maraknya kehadiran stratup atau perusahaan rintisan.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Rosan P Roeslani, memproyeksikan bahwa pada 2025 Indonesia berpotensi memiliki pasar ekonomi digital hingga mencapai Rp 2.000 triliun. Sementara, untuk pasar Asia pada 2025 mencapai USD 240 miliar atau sekitar Rp 3.480 triliun (kurs Rp 14.500).
"Kalau kita lihat dari angka angka itu Indonesia menjadi leader Asia Tenggara," kata Rosan dalam acara Kadin Enterpreneurship Forum 2018, di Satoo Garden, Shangri-La Hotel Jakarta, Rabu (27/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Rosan mengatakan, untuk mencapai itu, Indonesia perlu memanfaatkan bonus demografi yang diperkirakan dimulai pada 2030 mendatang.
"Tentunya kita harus banyak melakukan banyak hal termasuk bagaimana kita memanfaatakn bonus demografi yang kita sedanag alami sekarang dan akan berakhir pada tahun 2040," jelasnya.
Di samping itu, lanjut Rosan, para pelaku usaha juga perlu melihat jeli peluang usaha dan konsisten terhadap suatu bisnisnya. Tidak hanya memanfaatkan digital ekonomi, namun juga perlu menciptakan lapangan pekerjaan dan mendatangkan investasi.
"Dan tentunya yang kita harapkan dan melahirkan digital literasi anak muda pada entepreneurship terutama pada UMKM," katanya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Konsumen Paling Banyak Keluhkan Produk Ekonomi Digital, Apa Saja?
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi mengatakan sebagian besar pengaduan masyarakat yang masuk ke pihaknya terkait kerugian di sektor ekonomi digital.
Berdasarkan data Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI, tercatat pengaduan yang terkait ekonomi digital menduduki peringkat pertama selama tiga tahun terakhir. Jumlahnya berkisar 16-20 persen dari total komoditas pengaduan yang diterima YLKI.
"Pengaduan itu berupa transaksi produk e-commerce, dan atau pinjaman online," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Jumat (25/1/2019).
BACA JUGA
Hal ini, kata Tulus, karena pengawasan dan regulasi pemerintah terhadap sektor bisnis daring alias ekonomi digital masih lemah. Dia mengatakan, saat ini pelaku pinjaman online yang terdaftar di OJK hanya 72 saja, tetapi di lapangan yang beroperasi mencapai lebih dari 350 pelaku.
"Kenapa dibiarkan? Padahal mereka adalah ilegal, OJK bisa langsung bersinergi dengan Satgas Waspada Investasi dan Kementerian Kominfo, untuk langsung memblokir pinjaman online yang ilegal tapi masih bergentayangan. Demikian juga dalam hal belanja online, e-commerse," ungkapnya.
Dia menuturkan, tentu amat berbahaya bila transaksi antara konsumen dengan pedagang berjalan tanpa pengawasan oleh regulator. Sebab potensi pelanggaran hak konsumen sangat besar.
"Terbukti, menurut data 24 persen uang konsumen hilang dalam transaksi tersebut, alias teljebak aksi transaksi penipuan. Belum lagi pengaduan seperti barang yang diterima konsumen rusak, tidak sesuai, atau terlambat dalam pengiriman," ujar Tulus.
Dari sisi aturan, lanjut dia, harus diakui jika sampai sekarang belanja online belum ditopang dengan regulasi yang memadai. Mulai belum adanya UU Perlindungan Data Pribadi, sampai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"Sampai sekarang masih tersimpan di laci Sekretariat Negara. Alias mangkrak! Padahal transaksi e-commerse saat Harbolnas (Hari Belanja Online Nasional), angka pertumbuhannya melompat sampai dua digit. Jika Harbolnas 2012 angkanya hanya mencapai Rp 67,5 miliar; maka pada 2017 melambung menjadi Rp 4,7 triliun," tegasnya.
Advertisement