Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Indonesia masih membutuhkan lebih banyak upaya dan waktu untuk bisa memasuki revolusi industri 4.0.
Sebab, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar dengan kondisi geografis yang cukup luas.
"Karena kita ini besar, langkah yang harus dilakukan menjadi lebih banyak dan membutuhkan waktu lebih lama," ujarnya dalam acara Kadin Entrepreneurship Forum 2019 di Hotel Shangri-La, Jakarta Rabu (27/2/2019).
Baca Juga
Advertisement
Bendahara negara ini mengatakan, untuk bisa memasuki revolusi industri 4.0 pemerintah berkomitmen mendorong perbaikan industri secara nasional.
Salah satu contohnya dengan pembangunan infrastruktur secara merata di seluruh Indonesia dan juga mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas.
"Peningkatan SDM ini dilakukan dengan pendidikan vokasi dan pemberian beasiswa," ujar dia.
Di samping itu, dari segi ekonomi makro pihaknya juga mendorong kesiapan dengan berbagai kebijakan agar menjaga kestabilan perekonomian. Ini dilakukan melalui kebijakan fiskal serta berbagai insentif untuk mendorong peningkatan investasi dalam negeri.
"Jadi untuk perbaiki kesiapan Indonesia dibutuhkan dari berbagai elemen. Mulai dari institusinya, infrastruktur yang baik, makro ekonomi stabil dan sehat, kemampuan SDM dan produktivitas market. OSS juga harus dilakukan, efisiensi dilakukan, infrastruktur meski kita bangun terus kini kita di rangking 71, artinya masih membutuhkan lagi," paparnya.
Sri Mulyani menambahkan, kesiapan Indonesia dalam menghadapi perkembangan industri di era digitalisasi saat ini masih berada di peringkat ke 45 di dunia pada 2018.
Posisi ini meningkat apabila dibandingkan pada 2017 yang berada di posisi ke 47. Sementara di antara negara ASEAN posisi Indonesia berada di peringkat 4.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
RI Bersaing dengan Thailand
Sebelumnya, negara-negara di kawasan ASEAN saat ini telah bergerak mengadopsi revolusi industri ke-4 atau industri 4.0 melalui ASEAN 4.0. Di antara negara ASEAN lain, Thailand masih memimpin dalam penerapan industri 4.0 tersebut.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartato menyatakan, dalam penerapan industri 4.0, Indonesia sebenarnya tidak kalah dibandingkan dengan Negeri Gajah Putih tersebut. Sejumlah industri nasional telah mampu berdaya saing global di era digital.
Beberapa industri bahkan menjadi percontohan dalam penerapan industri 4.0, di antaranya PT Schneider Electric Manufacturing Batam di sektor industri elektronika dan PT Chandra Asri Petrochemical di industri kimia.
Selanjutnya, PT Mayora Indah Tbk di industri makanan dan minuman, Sritex di industri tekstil dan pakaian, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia di industri otomof. Di industri-industri tersebut sudah diaplikasikan teknologi digital, seper artificial intelligent dan internet of things.
“Beberapa industri itu tidak hanya menjadi percontohan di Indonesia, tetapi juga bagi Singapura. Bahkan, mereka akan dijadikan sebagai lighthouse di negara-negara ASEAN lain,” ujar dia di Jakarta, Senin 11 Februari 2019.
Dari data World Economic Forum (WEF) pada 2017, Indonesia berada di peringkat kelima dunia, melalui peranan kontribusi sektor industri pengolahan kepada produk domestik bruto (PDB) nasional. Negara-negara industri di dunia, kontribusi sektor manufakturnya terhadap perekonomian rata-ratasekitar 17 persen.
Lima negara yang sektor industri pengolahannya mampu menyumbang di atas rata-rata tersebut, yakni China (28,8 persen), Korea Selatan (27 persen), Jepang (21 persen), Jerman (20,6 persen), dan Indonesia (20,5 persen). Artinya, PDB manufaktur Indonesia merupakan yang terbesar di kawasan Asean.
“Selain itu, apabila melihat indeks daya saing global, yang saat ini diperkenalkan metode baru dengan indikator penerapan revolusi industri 4.0, peringkat Indonesia naik dari posisi ke-47 pada tahun 2017 menjadi level ke-45 di 2018,” ungkap Airlangga.
Menurut dia, industri 4.0 juga sangat penting karena mengingatkan dunia industri untuk melakukan capital expenditure (capex) atau alokasi anggaran untuk perbaikan, misalnya melakukan perbaikan alat produksi serta modernsisasi agar bisa berdaya saing.
“Dari tahun 2000-an, China investasinya sudah besar-besaran, sehingga menjadi power house,” ungkap dia.
Bahkan, negara-negara di dunia yang berbasis manufaktur menilai bergulirnya era industri 4.0 sebagai hal penting karena akan menjadi peluang dalam mendorong pertumbuhan ekonominya. Hal ini tercermin dari penyiapan berbagai program dan kebijakan yang disusun dalam peta jalan mereka.
“Awalnya Jerman yang mulai memperkenalkan industri 4.0 pada 4-5 tahun lalu. Kemudian negara-negara lain, termasuk di Asia ikut mengadopsi. Misalnya, India mempunyai Make in India dan Thailand punya Thailand 4.0," kata dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement