Sri Mulyani Ungkap Dampak Industri 4.0 di hadapan Pengusaha

Otomatisasi dalam big data maupun adanya artificial intelligence atau kecerdasan buatan memberikan suatu opsi baru dari para pelaku bisnis.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Feb 2019, 13:06 WIB
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Dok Merdeka.com/Dwi Aditya P

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan dampak dari perkembangan teknologi revolusi industri 4.0 di hadapan para pengusaha. Dikatakan jika perkembangan bisnis revolusi industri saatini cukup terasa.

Otomatisasi dalam big data maupun adanya artificial intelligence atau kecerdasan buatan memberikan suatu opsi baru dari para pelaku bisnis.

Ini dia ungkapkan saat menjadi pembicara dalam acara Kadin Enterpreneurship Forum 2019 di Jakarta.

"Ini suatu opsi yang dulu dianggap tidak relevan, sekarang menjadi real di depan mata kita," kata Sri Mulyani dalam sambutannya, Rabu (27/2/2019).

Dengan kondisi ini, secara otomatis pelaku bisnis dihadapkan dengan situasi yang sulit. Apakah harus berubah atau tetap mengikuti kondisi yang sama seperti sebelumnya.

"Itu semua dihadapkan dengan adanya opsi teknologi yang memungkinkan model bisnis mereka berubah dan konsumen yang attach atau gunakan teknologi, sehingga cara melakukan konsumsi juga berubah. dengan demikian, teknologi mengubah cara hidup," jelas dia.

Bendahara negara ini menambahkan, kondisi tersebut juga membawa perubahan besar terhadap masyarakat.

"Baik dari bisnis ataupun kehidupan sehari-hari, dalam sosial dan berkeluarga, sekarang jadi lebih mudah. Tapi ada downside risk yang kita tahu. Misal quality relationship mereka yang lambat mengenali teknologi, tidak melihat bahwa banyak aspek diubah dengan teknologi," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Sempat Disinggung Saat Debat Capres, Apa Itu Industri 4.0?

Ilustrasi industri 4.0 (iStockPhoto)

Revolusi industri ke-4 atau industri 4.0 kembali jadi bahan perbincangan. Khususnya pasca debat calon presiden (capres) kedua yang berlangsung pada Minggu 17 Februari 2019. 

Sejumlah pihak, khususnya dari kubu pendukung capres nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi) menyebut jika capres nomor urut 02 Prabowo Subianto tidak paham soal industri 4.0 ini.

Lantas apa sebenarnya industri 4.0 ini?

Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menjabarkan perkembangan industri di dunia. Dikatakan jika dalam setiap tahapan revolusi industri mulai dari yang pertama hingga saat ini memiliki tantangan dan dampak berbeda.

Revolusi industri ke-1 pada abad ke-18, dikatakan ditandai dengan penemuan mesin uap untuk upaya peningkatkan produktivitas yang bernilai tambah tinggi. Misalnya di Inggris, saat itu, perusahaan tenun menggunakan mesin uap untuk menghasilkan produk tekstil.

“Tetapi di Indonesia, saat ini masih ada yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain itu, di perusahaan rokok kretek, masih menggunakan mesin lintingan tangan. Jadi, semua itu menggunakan teknologi yang bersifat padat karya. Pemerintah mempunyai keberpihakan untuk melindungi teknologi tersebut, terutama untuk menyerap tenaga kerja,” ujar Airlangga dalam keterangannya beberapa waktu lalu, Senin (18/2/2019).‎

Pada revolusi industri ke-2 di era 1900-an, ditandai dengan penemuan tenaga listrik. Pada fase ini, beberapa industri di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signfikan, seperti sektor agro dan pertambangan.

"Jadi, revolusi yang kedua ini terkait dengan teknologi di lini produksi,” lanjut dia.

Kemudian, di era revolusi industri ke-3, saat otomatisasi dilakukan pada 1970 atau 1990-an hingga saat ini karena sebagian masih berjalan. “Jadi pada saat memasuki revolusi industri ketiga, memang penyerapan tenaga kerja masing-masing di industri sudah berbeda. Sehingga, ini kita bedakan ada yang kelompok industri labour intensive,” ungkap Airlangga.

Pada revolusi industri ke-4, Menperin menyampaikan, efisiensi mesin dan manusia sudah mulai terkonektivitas dengan internet of things.

“Hari ini kita berbicara otomatisasi yang berbasis pada data dan internet, dan ini yang dilakukan di era Industri 4.0. Kalau dahulu, di dalam manufaktur, produsen dan konsumen terpisah. Tetapi saat ini, memungkinkan adanya co-creation antara pembeli dan produsen yang dapat menumbuhkan mikromanufaktur,” jelas dia.

Airlangga juga menyatakan, perbedaan penerapan Industri 3.0 dengan Industri 4.0 adalah dari faktor penggeraknya. Industri 3.0 digerakkan oleh profit, sedangkan 4.0 lebih didorong oleh harga dan biaya.

“Bedanya Industri 3.0 dengan 4.0 adalah value chain-nya. Banyak produk-produk yang dari cost itu tentunya berujung pada value added dan supply chain," tutur dia.‎

Di samping itu, hasil studi yang dilakukan oleh Boston Consulting Group terhadap industri yang telah menelah menerapkan industri 4.0 seperti di Jerman, menunjukkan jika permintaan tenaga kerja akan meningkat secara signifikan pada segmen R&D dan pengembangan software hingga 96 persen.

Kemudian, akan muncul permintaan jenis pekerjaan baru yang kompatibel dengan system Industri 4.0di antaranya adalah profesi industrial data scientist dan masih banyak lagi,” ungkapnya.

Diproyeksi, beberapa pekerjaan baru yang terkait dengan pengembangan internet of things, antara lain professional tribercloud architectindustrial network engineermachine learning scientistplatform developervirtual reality designremote health carerobotics specialist, dan cyber security analyst.

Menperin mengatakan, salah satu pendorong keberhasilan dalam upaya mengimplementasikan Industri 4.0 adalah inovasi yang dihasilkan. Saat ini, tingkat inovasi Indonesia masih berada pada level 0.3 persen, sedangkan agar bisa unggul dalam bersaing dibutuhkan tingkat inovasi 2 persen.

“Ini akan ditingkatkan dengan cara memperkuat peran perguruan tinggi. Dari sanalah diharapkan tercipta inovasi yang akan mendorong efektivitas industri," tuturnya.

Menurut Airlangga, faktor inovasi menjadi penting dalam rangka memaksimalkan nilai tambah pada setiap tahapan rantai industri.Langkah lain yang juga penting diupayakan adalah produktivitas pekerja. Hal ini akan dibenahi dengan meningkatkan program pendidikan vokasi.

“Industri 4.0 akan membuat kontribusi manufaktur akan mencapai 25 persen pada 2030 dan menyumbangkan peningkatan pertumbuhan hingga 1-2 persen," tandasnya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin Ngakan Timur Antara, mengatakan dalam upaya memasuki Industri 4.0, pemerintah pun aktif menarik investasi baru dan mendorong industri berekspansi.

“Sejauh ini memang sudah ada kajian investasi yang dibutuhkan untuk menghadapi Industri 4.0, yakni dengan menguraikan sektor-sektor industri mana yang diunggulkan. investasi menjadi agenda semua pihak demi mengejar daya saing dan peningkatan ekspor,” paparnya.

Berdasarkan peta jalan Making Indonesia 4.0, terdapat lima sektor industri yang akan menjadi pendorong dan percontohan dalam penerapan Industri 4.0.

Lima sektor tersebut adalah industri makanan dan minuman, kimia, tekstil, elektronik, dan otomotif. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya