Terlambat Salurkan B20, Pemerintah Denda 12 Perusahaan Senilai Rp 300 Miliar

Pembayaran denda akan dilakukan usai pemerintah mengirimkan surat ke masing-masing perusahaan penyalur B20.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Mar 2019, 14:00 WIB
Direktur Logistik, Supply Chain & Infrastruktur Pertamina Gandhi Sriwidodo (kanan), Dirjen Migas Djoko Siswanto (kedua kanan) VP Supply & Distribution Fariz Aziz (kiri) dan GM MOR 1 Joko Pitoyo (kedua kiri). (dok. Humas Pertamina)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Hilir Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Rizwi Hisjam, mengatakan bahwa pemerintah telah mengantongi nama 12 badan usaha (BU) Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang terlambat melakukan penyaluran B20 periode September-Oktober 2018. Dia memprediksi total denda seluruhnya sebesar Rp 300 miliar.

"(Denda 12 BU BBM dan BU BBM) sekitar Rp 300 miliar," ujar Rizwi di Kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (1/3/2019).

Sebelumnya, kata Rizwi, ada 14 badan usaha yang dikenai sanksi. Namun setelah diminta penjelasan dan klarifikasi akhirnya pemerintah memutuskan hanya 12 badan usaha yang mendapat denda keterlambatan.

"Dari 14 yang kita verifikasi, 2 BU kita bebaskan. Artinya keberatannya itu, ketika kita berikan denda, mereka kesempatan untuk klarifikasi. Dari yang mereka sampaikan, akhirnya ada 2 BU yang dibebaskan," jelasnya.

Pembayaran denda ini selanjutkan akan dilakukan usai pemerintah mengirimkan surat ke masing-masing perusahaan. Batas surat penagihan pembayaran denda sebanyak tiga kali, jika tidak bersedia membayar maka pemerintah akan mencabut izin usaha.

"Oh ya nanti, kalau mereka sudah dapat suratnya itu kan segera ya. Kalau mereka gak bayar, kita bikin surat lagi. Secara aturan kita bikin 3 kali surat panggilan. Kalau enggak, mereka bisa kita sanksi seperti cabut izin. Ini baru sekali suratnya," jelas Rizwi.

Rizwi menambahkan, untuk periode setelah September-Oktober 2018 pemerintah belum mendata kembali berapa perusahaan yang melakukan pelanggaran penyaluran B20. Hal ini masih dalam tahap verifikasi oleh Kementerian ESDM.

"Ini kan udah ada komitmen. Kalau mereka langgar, tidak bisa memenuhi ya konsekuensinya denda. Mereka udah pada menyadari semua dari badan usaha (BU) BBM dan BBN. Artinya mereka sudah pahamlah, comply dengan aturan," tandasnya.

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com


Pengembangan Program B20 Sawit Butuh Dukungan Pemda

Kementerian ESDM telah resmi memperluas penerapan kewajiban pencampuran Biodiesel 20 persen (B20) untuk Public Service Obligation (PSO) ataupun non-PSO, sejak 1 September 2018. (Maul/Liputan6.com)

Keberadaan perkebunan dan industri sawit sebagai industri padat karya dinilai telah menjadi solusi untuk mendorong peningkatan lapangan kerja dan membantu menekan impor BBM melalui program B20. Oleh sebab itu, butuh dukungan pemerintah daerah (pemda) dalam pengembangan sektor ini.

Ketua Forum Pengembangan Perkebunan Strategis Berkelanjutan, Achmad Mangga Barani mencontohkan, Kalimantan Barat sebagai salah satu sentra perkebunan sawit terbesar mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah dalam jumlah besar. 

Keberadaan sawit selama puluhan tahun di provinsi tersebut telah menjadi kegiatan ekonomi yang mampu menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru di perdesaan.

"Sejak awal, perkebunan sawit di Kalbar terpusat di daerah-daerah terpencil (remote area) seperti Sintang dan Ketapang. Sebagian besar badan jalan di Kalbar, mulai dari jalan desa, kecamatan hingga provinsi dibangun perkebunan dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan). ‎Hanya saja, sejak tahun 1990, ketergantungan terhadap HPH sudah tidak ada, karena kayu habis. Sawit tetap menjadi komoditas andalan yang mampu menggerakan perekonomian Kalbar,” ujar dia di Jakarta, Jumat (22/2/2019).

Menurut dia, geliat ekonomi dari komoditas sawit masih bisa dirasakan hingga kini. Dalam luasan 6.000-7.000 hektare kebun sawit, berdiri satu pabrik yang mampu mengolah 600 ton sawit per hari.

”Ini menjadi pendapatan yang luar biasa bagi ekonomi Kalbar," kata dia.

Selain itu, sawit juga berkontribusi yang besar dalam pembangunan daerah yang berasal dari sumbangan pajak seperti PBB dan PPN 21 yang dipungut dari pekerja industri sawit.

"‎Pemasukan terbesar memang diperoleh pemerintah pusat. Devisa sawit bisa mencapai Rp 240 triliun per tahun dan itu dikembalikan dalam bentuk APBD ke daerah. Karena itu, dukungan Pemda, mulai di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan hingga perdesaan ini menjadi sangat penting,“ jelas dia.

Hal senada juga diungkapkan oleh Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta. Menurut dia,‎ pemerintah daerah harus mendorong industri sawit sejalan fokus pemerintah untuk menciptakan kemandirian energi. Salah satu lewat penerapan mandatori B20yang basisnya berasal dari sawit.

“Bahkan, kami melihat rencana pengembangan sampai B30 hingga B50 merupakan strategi penting dalam meningkatkan kedaulatan energi," ungkap dia.

Arif mengungkapkan keberhasilan B20 mampu mengurangi ketergantungan terhadap impor migas dan membantu Indonesia dalam mengurangi tingginya defisit neraca perdagangan. Hal tersebut lantaran selama ini ketergantungan terhadap impor migas masih tinggi.

"Kalau kita ingin mengembangkan kedaulatan energi, kebutuhan energi itu harus mampu kita penuhi sendiri. Sumber berasal dari energi fosil dan pengembangan bioenergi yang berasal dari perkebunan sawit di daerah,” tandas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya