Liputan6.com, Jakarta - Penggunaan tenaga alih daya (outsoursing) menjadi praktik yang lumrah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di dunia, termasuk di Indonesia. Namun, sering kali terjadi masalah saat sebuah perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pekerjanya yang berstatus outsoursing.
Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) Greg Chen mengatakan, jika sebuah perusahaan melakukan PHK terhadap tenaga outsoursing harus sesuai dengan dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan yang berlaku dan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerjasama (PKS) antara perusahaan dan pekerja.
Baca Juga
Advertisement
“Masalah biasanya terjadi bila kontrak kerja tidak diperpanjang. Sesuai ketentuan perundang-undangan, sah saja memutus kontrak atau PHK saat di tengah jalan. Tapi Undang-undang mengharuskan klien membayar gaji pokok dan juga tunjangan yang masih tersisa sesuai kontrak yang harus dijalani. Jika semua regulasi diikuti umumnya tidak akan terjadi masalah,” ujar dia di Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Menurut dia, bidang industri apapun, termasuk migas, perkapalan, dan perbankan, jika semua aturannya diikuti, komunikasi lancar dan ada itikad baik antara perusahaan dan pekerja, maka proses PHK akan berjalan mulus.
Sebaliknya masalah terjadi, jika kontraknya tidak diperpanjang, namun ada risiko terjadinya penyalahgunaan atau pelanggaran aturan oleh perusahaan, hal ini biasanya akan berujung pada penyelesaian melalui jalur hukum atau melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Namun demikian penyelesaian melalui jalur PHI amat tidak diminati, mengingat proses penyelesaian yang panjang, berbelit, dan menghabiskan dana tidak sedikit. Mereka akan lebih memilih penyelesaian langsung melalui perundingan bipartite dengan karyawan atau pekerja,“ kata pria yang juga CEO PT Outsource Indonesia ini.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Sudah Ada Aturannya
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Ketenagakerjaan KADIN Indonesia, sekaligus Ketua Tetap Sertifikasi dan Kompetensi Apindo, Iftida Yasar mengungkapkan dalam sistem alihdaya telah diatur sejumlah ketentuan seperti kapan jangka waktu berakhirnya pekerjaan, atau bagaimana sistem yang diberlakukan bila nantinya perusahaan tidak dapat berjalan seperti yang diharapkan, maka akan berakhir juga hubungan kerja.
“Sebaliknya kalau tidak ada sistem kerja yang mengatur, bila di kemudian hari terjadi pengakhiran kontrak sebelum masa yang seharusnya berakhir, maka perusahaan pemberi kerja harus membayar sisa kontrak sesuai perjanjian kerja sama,” tandas dia.
Advertisement