Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih berharap majelis hakim Tipikor menjatuhkan vonis ringan terhadap dirinya terkait penerimaan suap dan gratifikasi. Politisi Golkar itu juga berharap agar majelis hakim menerima permohonan justice collaborator (JC) yang ia ajukan.
Eni Maulani menjelaskan, permohonan JC sangat diharapkan agar diterima oleh majelis hakim karena ia merasa bukan pelaku utama dalam kasus penerimaan suap PLTU Riau-1.
Advertisement
"Harapannya saya bisa diberikan hukuman ringan dari tuntutan, terus perhomonan JC saya dikabulkan hakim. Itu saja, karena tuntutan itu saja karena saya bukan pelaku utama," kata Eni di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Jumat(1/3/2019).
Ia juga berharap dalam vonis nanti, majelis hakim mengurangi masa pidana pencabutan haknya untuk dipilih dalam jabatan publik. Sebagaimana tuntutan jaksa penuntut umum pada KPK, Eni dituntut pencabutan hak dipilihnya selama 5 tahun usai menjalani pidana pokoknya.
Pidana pokok yang dituntut jaksa kepada Eni yaitu pidana penjara selama 8 tahun, pidana denda Rp 300 juta atau subsider 4 bulan kurungan.
Pada persidangan sebelumnya, jaksa penuntut umum pada KPK merinci awal keterlibatan Eni dalam kasus ini diawali perintah Setya Novanto, mantan Ketua Partai Golkar, kepada Eni agar membantu bos dari Blackgold Natural Resources (BNR), Johannes Budisutrisno Kotjo, akrab disapa Kotjo, memfasilitasi bertemu dengan Direktur Utama PT PLN persero Sofyan Basir.
Tindakan Johannes menemui Novanto setelah surat yang diajukan ke PT PLN tak mendapat tanggapan. Surat tersebut berisikan permintaan BNR kepada PT PLN agar proyek IPP PLTU Riau-1 masuk ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih sebagai pendamping sekaligus fasilitator Johannes Kotjo bertemu dengan Sofyan Basir dan pejabat terkait di PT PLN. Eni kemudian dianggap berperan aktif mengawal proyek tersebut sesuai keinginan Kotjo.
Setelah pertemuan, beberapa hari kemudian PT PLN memasukan proyek PLTU Riau-1 masuk ke dalam RUPTL dan menunjuk PT BNR sebagai investornya, bersama dengan anak perusahaan PT PLN, Pembangkitan Jawa Bali (PJB). BNR juga menggaet perusahaan asal China Huadian Engineering Co. Ltd (CHEC) sebagau investor.
Pertemuan Kotjo, Eni dan Idrus
Di tengah perjalanan pembahasan proyek senilai USD 900 juta itu Idrus Marham mengarahkan Eni meminta uang USD 3 juta dan SGD 400 ribu kepada Kotjo untuk keperluan Munaslub Golkar. Kotjo kemudian bertemu dengan Eni dan Idrus untuk menjelaskan fee agency sebesar 2,5 persen yang akan diterima Kotjo dari Chec Huadian sebagian akan diserahkan ke Eni sebagai pihak yang telah membantu.
Idrus meyakinkan Kotjo agar membantu Eni mengingat Eni juga menjabat sebagai bendahara Munaslub Golkar.
Atas desakan Idrus, Kotjo melalui sekretaris pribadinya memberikan uang kepada Eni sebanyak dua tahap 18 Desember 2017 dan 14 Maret 2018, dengan masing-masing besaran Rp 2 miliar.
Uang kembali diberikan Kotjo setelah ada permintaan dari Eni untuk kepentingan suaminya mencalonkan diri sebagai Bupati Temanggung. Awalnya, Eni meminta uang Rp 10 miliar, namun ditolak dengan alasan sulitnya kondisi keuangan. Peran Idrus melobi Kotjo berhasil dan memberikan uang kepada Eni untuk keperluan sang suami sebesar Rp 250 juta.
Tuntutan tersebut juga mencakup perbuatan pidana penerimaan gratifikasi oleh Eni sejumlah Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu.
Jaksa juga menuntut Eni pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah Rp 10,350 miliar dan SGD 40 ribu dan pencabutan hak dipilih jabatan publik selama 5 tahun seusai ia menjalani pidana pokok.
Atas perbuatannya Eni dituntut telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement