Liputan6.com, Jakarta Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih divonis 6 tahun pidana penjara oleh majelis hakim Tipikor, Jakarta Pusat. Politisi Golkar itu dinyatakan terbukti menerima suap Rp 4,75 miliar dari Johannes Budisutrisno Kotjo atas pengurusan proyek PLTU Riau-1.
"Mengadili oleh karena itu terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih dengan pidana penjara selama 6 tahun denda Rp 200 juta apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan 2 bulan," ucap Ketua Majelis Hakim Yanto saat membacakan vonis Eni, Jumat (1/3/2019).
Advertisement
Berdasarkan fakta persidangan, majelis hakim meyakini keterlibatan Eni dalam kasus ini diawali perintah Setya Novanto, mantan Ketua Partai Golkar, kepada Eni agar membantu bos dari Blackgold Natural Resources (BNR), Johannes Budisutrisno Kotjo, akrab disapa Kotjo, memfasilitasi bertemu dengan Direktur Utama PT PLN persero Sofyan Basir.
Tindakan Johannes menemui Novanto setelah surat yang diajukan ke PT PLN tak mendapat tanggapan. Surat tersebut berisikan permintaan BNR kepada PT PLN agar proyek IPP PLTU Riau-1 masuk ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).
Novanto kemudian mengutus Eni Maulani Saragih sebagai pendamping sekaligus fasilitator Johannes Kotjo bertemu dengan Sofyan Basir dan pejabat terkait di PT PLN. Eni kemudian dianggap berperan aktif mengawal proyek tersebut sesuai keinginan Kotjo.
Setelah pertemuan, beberapa hari kemudian PT PLN memasukan proyek PLTU Riau-1 masuk ke dalam RUPTL dan menunjuk PT BNR sebagai investornya, bersama dengan anak perusahaan PT PLN, Pembangkitan Jawa Bali (PJB). BNR juga menggaet perusahaan asal China Huadian Engineering Co. Ltd (CHEC) sebagau investor.
Di tengah perjalanan pembahasan proyek senilai USD 900 juta itu Idrus Marham mengarahkan Eni meminta uang USD 3 juta dan SGD 400 ribu kepada Kotjo untuk keperluan Munaslub Golkar. Kotjo kemudian bertemu dengan Eni dan Idrus untuk menjelaskan fee agency sebesar 2,5 persen yang akan diterima Kotjo dari Chec Huadian sebagian akan diserahkan ke Eni sebagai pihak yang telah membantu.
Idrus meyakinkan Kotjo agar membantu Eni mengingat Eni juga menjabat sebagai bendahara Munaslub Golkar.
Atas desakan Idrus, Kotjo melalui sekretaris pribadinya memberikan uang kepada Eni sebanyak dua tahap 18 Desember 2017 dan 14 Maret 2018, dengan masing-masing besaran Rp 2 miliar.
Uang kembali diberikan Kotjo setelah ada permintaan dari Eni untuk kepentingan suaminya mencalonkan diri sebagai Bupati Temanggung. Awalnya, Eni meminta uang Rp 10 miliar, namun ditolak dengan alasan sulitnya kondisi keuangan. Peran Idrus melobi Kotjo berhasil dan memberikan uang kepada Eni untuk keperluan sang suami sebesar Rp 250 juta.
Dari uraian fakta tersebut, majelis hakim juga meyakini unsur turut serta bersama-sama dalam melakukan perbuatan tindak pidana korupsi oleh Eni dan Idrus telah terpenuhi. Terlebih lagi, Idrus, dianggap majelis hakim mengetahui segala penerimaan uang oleh Eni.
Hal Memberatkan dan Meringankan
Lamanya masa pidana Eni juga mencakup penerimaan gratifikasi sebesar Rp 5,6 miliar dan SGD 40 ribu dari sejumlah pihak dengan rincian;
Prihadi Budi Santoso, Direktur PT Smelting Rp 250 juta
Herwin Tanuwidjaja, Direktur PT One Connect Indonesia SGD 40 ribu dan Rp 100 juta
Samin Tan selaku pemilik PT Borneo Lumbung Energi & Metal Rp 5 miliar
Iswan Ibrahim Presdir PT Isargas Rp 500 juta
Majelis hakim kemudian mencantumkan hal yang memberatkan dan meringankan.
"Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa bertentangan dengan upaya pemerintah yang gencar-gencarnya memberantas korupsi, korupsi merupakan kejahatan luar biasa," ujar Hakim Anwar.
Sementara hal yang meringankan, Eni bersikap sopan selama persidangan, berterus terang dan mengakui kesalahannya, serta telah mengembalikan uang yang ia terima ke KPK untuk kemudian diramps untuk negara.
Eni dinyatakan telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 undang-undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 12 B Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Reporter: Yunita Amalia
Advertisement