Liputan6.com, Khartoum - Warga Sudan kembali berunjuk rasa besar-besaran pada Kamis, 28 Februari 2019. Dalam aksi protes menentang keadaan darurat nasional oleh Presiden Omar al-Bashir tersebut, sejumlah lebih dari 1.000 warga turun ke jalan Ibu Kota Khartoum.
Demonstrasi itu adalah aksi massa besar yang dilakukan pascapemberlakuan keadaan darurat di seluruh negeri, sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia pada Jumat (1/3/2019).
Baca Juga
Advertisement
Keadaan darurat sendiri dideklarasikan secara sepihak oleh Presiden Sudan Omar al-Bashir pada Jumat, 22 Februari 2019, di mana pada saat yang sama Sudan juga menutup pemerintahan selama satu tahun. Pascapemberlakuan keadaan darurat, militer dan aparat keamanan lebih leluasa untuk menangkap para demonstran.
Pemberlakuan status darurat nasional dan penutupan pemerintahan dilakukan untuk mengatasi kerusuhan yang telah berlangsung selama dua bulan. Kerusuhan tersebut mengancam pemerintahan Bashir yang sudah berjalan 30 tahun.
Menurut pernyataan salah satu kelompok di Sudan bernama Sudanese Professional Association (PSA), pada Kamis terdapat lebih dari 800 orang yang diajukan ke pengadilan. Mereka diadili akibat dianggap "membahayakan keamanan nasional" pasca pemberlakuan keadaan darurat nasional.
Adapun sidang berlangsung hingga larut malam dengan vonis berkisar dari dibebaskan sampai ke hukuman penjara.
PSA tampil sebagai penggerak protes dan berseru kepada demonstran untuk menantang pembentukan pengadilan khusus.
Simak pula video pilihan berikut:
Keadaan Darurat Membahayakan Demonstran
Aksi protes oleh warga negara Sudan akan semakin berbahaya jika dilakukan dalam keadaan darurat nasional. Hal tersebut dikarenakan dalam status tersebut personil keamanan memiliki hak yang lebih luas untuk "mengamankan" negara.
"Sesuai dengan konstitusi Sudan, keadaan darurat memberikan polisi, pasukan keamanan dan militer hak untuk menangkap tanpa surat perintah, untuk menyerang rumah-rumah serta siapa pun yang dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan pembangunan ekonomi dan stabilitas," tutur Hiba Morgan, reporter Al Jazeera.
Lebih lanjut, al-Bashir telah menyebut para oposisi memiliki kepentingan politik yang disusupi oleh agenda asing, sehingga membahayakan nasional. Dengan pernyataan itu ditambah dengan status keadaan darurat nasional, akan lebih banyak pasukan keamanan digunakan untuk melawan pengunjuk rasa.
Protes yang menargetkan pemerintahan Sudan sendiri telah berlangsung sejak 19 Desember 2018. Baru-baru ini, unjuk rasa berubah meminta presiden berusia 75 tahun yang telah menjabat selama tiga dekade, turun dari tampuk kekuasaan.
Lebih dari 1.000 orang dilaporkan telah ditahan oleh Badan Intelijen dan Keamanan Nasional (NISS) sejak protes dimulai. Jumlah tersebut termasuk para pemimpin oposisi, aktivis dan jurnalis.
Sebuah organisasi hak asasi manusia kemudian melaporkan terdapat sekitar 60 orang tewas dalam bentrokan dengan pasukan keamanan.
Meskipun mendapatkan banyak tekanan, para demonstran bersumpah akan terus melancarkan protes hingga al-Bashir meninggalkan jabatannya.
Advertisement