Ma'ruf Amin: Hilangkan Kata Kafir untuk Jaga Keutuhan

Kendati tak mengetahui persis jalannya sidang, kata Ma'ruf, kalau ulama telah bersepakat tak lagi menggunakan kata kafir untuk non muslim, memang keputusan itu diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mar 2019, 04:12 WIB
Cawapres Ma'ruf Amin di kediamannya, Jalan Situbondo, Jakarta, Senin (7/1/2019).

Liputan6.com, Jakarta - Calon wakil presiden nomor urut 01 Ma'ruf Amin menanggapi keputusan Bahtsul Masail Maudluiyah NU terkait penggunaan kata kafir untuk non muslim di Indonesia. Ma'ruf sepakat dengan rekomendasi Nahdlatul Ulama, supaya tidak lagi menggunakan kata kafir untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendeskriminasikan gitu. Mungkin punya kesepatakan untuk tidak menggunakan istilah itu," ujar Ma'ruf di kediamannya, Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3/2019).

Mustasyar PBNU itu menuturkan tidak mengikuti Bahtsul Masail karena melakukan safari politik di Jawa Barat. Seperti diketahui, Ma'ruf lima hari nonstop melakukan safari. Dia sempat menghadiri pembukaan musyawarah nasional alim ulama dan konferensi besar Nahdlatul Ulama. Setelahnya Ma'ruf melanjutkan perjalanan.

"Saya sendiri tidak ikut sidangnya kan, karena terus mutar," kata Ketum MUI itu.

Kendati tak mengetahui persis jalannya sidang, kata Ma'ruf Amin, kalau ulama telah bersepakat tak lagi menggunakan kata kafir untuk non muslim, memang keputusan itu diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," jelas Ma'ruf.

Sebelumnya, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan Pancasila sebagai dasar negara berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara dengan yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis bahkan agama. Hal itu selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah.

Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa atau umat yang berdaulat di hadapan bangsa/ umat lainnya tanpa diskriminasi.

Moqsith mengatakan kata kafir sering disebutkan oleh sekelompok orang untuk melabeli kelompok atau individu yang bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini, kepada nonmuslim, bahkan terhadap sesama muslim sendiri.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Kata yang Menyakiti

Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi nonmuslim di Indonesia. "Kata kafir menyakiti sebagian kelompok nonmuslim yang dianggap mengandung unsur kekerasan teologis," katanya.

Ia mengatakan para kiai menyepakati tidak menggunakan kata kafir, tetapi menggunakan istilah muwathinun, yaitu warga negara. Menurut dia, hal demikian menunjukkan kesetaraan status Muslim dan nonmuslim di dalam sebuah negara.

"Dengan begitu, maka status mereka setara dengan warga negara yang lain," katanya. Meski demikian, kata dia, kesepakatan tersebut bukan berarti menghapus kata kafir. Hanya saja, penyebutan kafir terhadap nonmuslim di Indonesia tidak bijak.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya