Liputan6.com, Hotan County, Prefektur Hotan, Xinjiang - Ada sekitar 400 orang yang menghuni pusat pelatihan vokasional di Hotan County, Prefektur Hotan, wilayah selatan jauh Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR).
Mereka yang disana diduga 'terinfeksi ekstremisme dan radikalisme'. Mayoritas berasal dari kelompok etnis minoritas Uighur, Kazakh, Kirgiz dan lainnya. Banyak yang muslim, lainnya memeluk kepercayaan lain.
Mereka menempati sejumlah kamar asrama, yang masing-masing berisi enam kasur. Tak hanya tinggal, para penghuni yang disebut 'siswa', melakukan sejumlah aktivitas, dari pendidikan vokasi, pelatihan bahasa nasional, hukum, hingga kesenian tradisional.
Baca Juga
Advertisement
Fasilitas di lokasi pelatihan relatif lengkap. Ada kantin, lapangan olahraga, alat kelengkapan pengajaran. Setiap kamar juga dilengkapi toilet.
Namun, ada hal yang menarik di kamar-kamar asrama. Yakni, tak ada gagang pintu di sisi dalam kamar. Tak seperti pintu biasa yang memiliki gagang di dua sisi, dalam dan luar.
Liputan6.com yang berkesempatan masuk ke dalamnya sempat kebingungan saat pintu tertutup dari luar. Tak tahu bagaimana cara membukanya.
Sejumlah jurnalis Indonesia dan Malaysia, berkesempatan untuk berkunjung langsung ke empat fasilitas di Xinjiang pada 27 Februari 2019.
Panel Dewan HAM PBB di Jenewa mendefinisikannya sebagai "kamp internir" yang mengarah pada dugaan bahwa China melakukan pelanggaran hak asasi manusia, tindak kekerasan dan koersif, serta diskriminatif terhadap etnis minoritas. Bahkan sejumlah pihak mendefinisikannya sebagai Laojiao (Laodong jiaoyang) yang berarti "kamp re-edukasi".
Tiongkok dengan tegas menolak tuduhan PBB serta Barat, dan membantah pengunaan definisi "kamp" atau "pusat detensi". Pejabat China di tingkat pusat hingga lokal mendefinisikan fasilitas sebagai "pusat pelatihan" untuk menanggulangi "radikalisme dan ekstremisme" yang dioperasikan sesuai hukum dan dengan menjamin 'hak' dan 'kemerdekaan' para "siswa".
Xinjiang dan beberapa wilayah di China telah dilanda belasan "serangan terorisme berbasis radikalisme-ekstremisme" sejak 1990-an hingga beberapa tahun lalu. Beijing menuduh 'kelompok separatis-teroris Turkestan Timur di Xinjiang' yang terafiliasi kelompok teroris di Asia Tengah sebagai dalang peristiwa yang menelan korban jiwa di Tiongkok.
Merespons, China membentuk UU Anti-Terorisme pada 2015 untuk meredam berbagai peristiwa teror tersebut. Dan pada 2016, China dilaporkan telah mulai mendirikan fasilitas 'pelatihan dan re-edukasi' di Xinjiang.
Direktur pusat pelatihan vokasional Hotan, yang memperkenalkan dirinya dengan nama Mahmud Memeti mengatakan, fasilitas tersebut bukan penjara melainkan, "tempat edukasi, keterampilan, dan keahlian bagi orang yang terinfeksi radikalisme dan ekstremisme sehingga mereka mampu mengangkat diri mereka sendiri dari jurang kemiskinan."
Pemerintah lokal Hotan mengatakan bahwa kemiskinan berkorelasi dengan ekstremisme dan radikalisme, sehingga, dengan adanya fasilitas semacam itu dapat menjadi jawaban atas ketiga masalah tersebut.
"Hotan adalah salah satu prefektur termiskin di Xinjiang. Banyak warga yang terjerat kemiskinan ikut terjerumus juga dalam ekstremisme dan radikalisme. Tapi, kami sekarang sudah berbenah dan mulai bangkit, berkat bantuan juga dari Kamerad Xi Jinping (Presiden China)," kata seorang kepala departemen diseminasi informasi untuk Partai Komunis China di Hotan, menjelaskan tentang kehadiran 'pusat pelatihan vokasional' dan berbagai pembangunan yang tengah terlaksana di wilayahnya.
Lalu, apa alasan memasang pintu yang tak bergagang di sisi dalam?
Mengapa Pintu Tak Bergagang?
Direktur pusat pelatihan vokasional Hotan, Mahmud Memeti membawa rombongan jurnalis Indonesia dan Malaysia ke lantai dua gedung utama di fasilitas tersebut.
Lantai itu difungsikan sebagai salah satu "kamar asrama para siswa" karena memiliki banyak ruang berupa kamar berisi beberapa tempat tidur, loker, televisi, dan toilet.
Ada yang tak biasa di sana. Yakni, seluruh pintu kamar di lantai itu memiliki lubang pengintip seperti di kamar-kamar hotel.
Tapi, jika lubang pengintip di kamar hotel digunakan oleh penginap di dalam untuk mengintip kondisi di luar, lubang pengintip di fasilitas pelatihan vokasional di Hotan justru sebaliknya.
Lubang itu berfungsi agar orang di luar bisa mengintip ke dalam kamar. Liputan6.com mencoba langsung fitur itu di sebuah pintu kamar di fasilitas Hotan.
Kegunaannya mungkin ditujukan agar para staf pusat pelatihan vokasional bisa sewaktu-waktu mengawasi para siswa ketika mereka ada di dalam.
Selain itu, seluruh pintu kamar di lantai tersebut tak memiliki gagang di sisi dalam ruangan.
Ditambah dengan struktur pintu yang tebal dan berpengunci lengkap, ketidakhadiran gagang membuat orang di dalam tak bisa leluasa membuka pintu itu untuk keluar ruangan.
Liputan6.com mencoba masuk ke salah satu kamar dengan menutup pintu tersebut. Pintu tak bisa terbuka ketika penulis mencoba mendorong untuk membukanya dan harus mengetuk pintu dengan keras untuk meminta dibukakan.
Rombongan jurnalis meminta keterangan kepada Mahmud Memeti tentang fitur 'tak lazim' pada ruangan yang para staf definisikan sebagai kamar tersebut.
Tentang lubang pengintip yang hanya bisa melihat dari luar ke dalam, Memeti mengatakan ada alasannya. "Untuk alasan keamanan," kata dia.
Sementara tentang pintu tak bergagang, awalnya, ia mengaku pintu tersebut bisa dibuka dengan cara didorong. Belakangan, ia mengaku, "Kami tidak pernah menutup pintu itu dan tetap membiarkannya terbuka."
Lantas, apa tujuannya memasang pintu?
"Menutup pintu hanya demi alasan keamanan saja," kata Memeti menjawab pertanyaan Liputan6.com.
Ia juga membantah pernyataan seorang jurnalis yang menyamakan kamar itu laiknya sel penjara.
Lagipula, tambah dia, "di dalamnya terdapat interkom dan tombol di mana siswa di dalamnya bisa menekan untuk meminta keluar dan dibukakan jika pintu sedang tertutup," lanjut Memeti.
Ketika wartawan Liputan6.com, Rizki Akbar Hasan mencoba menekan satu dari dua tombol pada interkom, terdengar suara staf berbahasa Mandarin dari speaker yang terpasang. Speaker itu diduga kuat bekerja dua arah, karena suara saya terdengar oleh staf di seberang sana.
"Namun, apa yang terjadi jika ada situasi darurat seperti misalnya, kebakaran. Apakah staf (yang hanya berjumlah puluhan) punya waktu untuk membukakan semua pintu yang ada di fasilitas?," lanjut saya.
Memeti mengatakan, "Jika situasi darurat terjadi, staf pasti akan membantu," jelasnya ringkas.
Menurut jadwal rutinitas, para siswa memulai aktivitas pada pagi hari hingga sore. Mereka punya waktu bebas pada sore hari untuk berolahraga atau memanfaatkan ruang rekreasi yang ada di dalam fasilitas untuk kemudian masuk kembali ke dalam kamar tersebut.
Sama seperti kunjungan ke tiga fasilitas sebelumnya di Atush, Kashgar dan Shule, di pusat pelatihan vokasional Hotan rombongan jurnalis tidak dapat melihat ruangan dan gedung lain di dalam kompleks. Kami juga tidak melihat ratusan siswa lain di fasilitas yang menampung 400 orang itu.
Advertisement
Fasilitas di Pusat Pelatihan
Rombongan jurnalis yang didampingi pihak otoritas China tiba pada pukul 10.00, Rabu 27 Februari 2019.
Dari gerbang masuk utama, kendaraan yang membawa kami langsung terparkir di halaman depan kompleks fasilitas itu. Sebuah gedung lebar enam lantai menjulang di depan.
Suasana pagi itu sepi, namun, sayup-sayup suara keramaian terdengar dari gedung di hadapan kami.
Direktur pusat pelatihan vokasional Hotan, Mahmud Memeti menyambut rombongan, seraya menjelaskan bahwa gedung enam lantai di hadapan kami merupakan bangunan utama fasilitas yang difungsikan sebagai kelas pelatihan dan edukasi.
Berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektar, fasilitas di wilayah setingkat 'county' -- atau kecamatan -- yang dibangun pada 2017 dan mulai difungsikan pada 2018 itu menampung "setidaknya 400 siswa" yang kebanyakan merupakan warga lokal --di mana mayoritas berkomposisi etnis Uighur, Kazakh, Kirgiz dan beberapa lainnya.
"Jumlah siswa setidaknya selalu konstan, dengan beberapa masuk dan beberapa keluar karena sudah 'lulus'," Memeti kemudian menjelaskan.
Fasilitas itu memiliki setidaknya empat hingga lima gedung dan area tambahan lain dengan fungsi yang berbeda-beda, seperti salah satunya gedung kantin berlantai dua yang bisa menampung ratusan siswa, serta lapangan olahraga dan lapangan serbaguna.
CCTV yang tak terhitung jumlahnya dan terpasang di berbagai sudut dalam dan luar ruangan, serta tembok tinggi yang mempartisi kompleks fasilitas dengan wilayah di luarnya menjadi fitur lain yang juga hadir di tempat tersebut.
Penjelasan yang keluar dari mulut Memeti tentang fasilitas ini, siapa para siswa dan mengapa mereka masuk di dalamnya sama seperti yang diutarakan oleh para direktur di tiga fasilitas serupa yang telah dikunjungi oleh rombongan jurnalis beberapa hari sebelumnya, yakni di Atush, Kashgar, dan Shule.
Memeti berdalih, para siswa yang terinfeksi radikalisme-ekstremisme masuk ke dalam fasilitas secara sukarela untuk mendapatkan pelatihan dan edukasi tentang bahasa nasional China (Mandarin dan aksara Tiongkok), hukum nasional, keterampilan serta keahlian vokasional, serta kesenian modern dan tradisional.
Rombongan jurnalis diajak untuk melihat berbagai ruangan, seperti kelas bahasa, kelas hukum, kelas kesenian tradisional, ruang praktik pelatihan e-commerce berupa minimarket dengan sistem e-payment, serta ruang praktik salon rambut.
"Di sini kami memberikan pengajaran dan edukasi yang bermanfaat bagi para siswa. Dengan begini, ide radikalisme-ekstremisme mereka dapat luntur, dan mereka sekarang punya bekal keahlian serta keterampilan," jelasnya yang mengatakan bahwa seluruh kegiatan telah terjadwal dengan apik sehingga para siswa memiliki rutinitas yang pasti di dalam fasilitas.