Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya menuturkan, pariwisata perbatasan (border tourism) RI masih terbilang rendah.
Padahal, border tourism berpotensi untuk menggenjot penerimaan devisa negara dari sektor pariwisata untuk semakin besar.
Dia mengungkapkan, dengan negara-negara tetangga di Asia saja, Indonesia masih tertinggal dalam hal border tourism tersebut.
"Eropa devisa negaranya besar. Itu karena program border tourism-nya baik, karena Eropa sepertinya overland yaitu antar negara naik dengan mobil saja selesai," ujar dia di Menara BCA, Senin (4/3/2019).
Baca Juga
Advertisement
Dia melanjutkan, target pemerintah untuk mendatangkan wisata mancanegara (wisman) sebanyak 20 juta orang pada 2019 dapat dilakukan salah satunya dengan merealisasikan border tourism.
Adapun pada 2019, Kemenpar akan fokus pada tiga program untuk mendatangkan wisman yaitu border tourism, tourism hub dan low cost terminal (lct).
"Contoh border tourism Bali, yang kedua Singapore akan kita jadikan tourism hub. Indonesia border tourism-nya sangat kecil. Malaysia, Singapore, Prancis, Spanyol itu lakukan border tourism dengan baik," ujar dia.
Adapun sebab mengapa negara tetangga dinilai potensial untuk border tourism ialah karena negara tetangga nemiliki kedekatan secara geografis sehingga wisman pun lebih mudah, cepat, dan menjangkau mengunjungi destina dalam negeri.
"Orang masuk ke Indonesia 100 persen itu lewat airline. Maka airline penting peranannya ke pariwisata," tandas dia.
Menpar Angkat Bicara soal Tarif Tiket Pesawat yang Masih Mahal
Sebelumnya, Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya angkat suara perihal dampak mahalnya tiket pesawat terhadap industri pariwisata Indonesia.
Peringatan yang diberikan kepada pihak maskapai untuk menurunkan harga tiket pesawarnya dinilai sudah cukup, meski pada kenyataannya tiket masih tetap mahal.
"Sudah cukup menurut saya peringatan. Bahkan Pak Presiden sendiri ketika rakernas beliau inginkan tiket harus diturunkan. Salah satunya dengan penurunan harga avtur dan sudah dilakukan oleh Pertamina. Namun ternyata harga tiketnya belum turun juga," kata dia dalam konferensi pers di Menara BCA, Jakarta, Senin 4 Maret 2019.
Dia menjelaskan, ketika harga naik permintaan otomatis akan menurun. Sehingga industri pariwisata dan perhotelan ikut terdampak dengan sepinya wisatawan yang bepergian.
"Kalau kamu naikkan price, demand turun, kalau tidak begitu orang seenaknya naikkan price. Sekarang kalau pricing naik 100 persen apa yang terjadi? itulah yang terjadi, industrinya goncang," tegas dia.
Dia menceritakan beberapa hari lalu membeli tiket pesawat ke Padang, Sumatera Barat dengan harga yang masih cukup tinggi. Padahal harganya sudah diturunkan 20 persen dari kenaikkan semula.
"Kemarin dari Padang naik 210 persen, ketika ada diskon 20 persen angkanya masih tinggi. Ketika kami hitung pakai kalkutaor angkanya masih 168 persen," ujarnya.
Dia menyatakan, menaikkan harga tiket pesawat merupakan hak maskapai. Namun kenaikan harus sesuai aturan agar masyarakat selaku pengguna jasa tidak kaget dengan tarif baru tersebut.
"Saya setuju usulan pak Menhub (Budi Karya Sumadi) kalau naik jangan mendadak dan besar. Mendadak boleh, tapi kecil (kenaikannya). Naik besar boleh, tapi bertahap. Atau memang ingin mengguncang industri ini karena naiknya lebih dari 100 persen? Karena teoritically demand-nya akan hilang 100 persen," ujarnya.
Dengan mahalnya tiket pesawat, Menpar Arief menyebut semua pihak menderita kerugian. Dia pun berharap kenaikkan tarif pesawat dapat dilakukan secara bertahap agar masyarakat dapat menyesuaikan dengan harga baru.
"Kalau mau lihat kenyataannya, gak ada yang gak dirugikan. Airline rugi, Angkasa Pura penurunan pengunjung bandara, hotel rugi, petani rugi. Airline kalau harus naik tarif lakukan secara bertahap, kalau gak mendadak. Kalau mendadak jangan terlalu besar. Ada new normal yang bisa di-accept. Ini new normal yang tidak di-accept dengan guncangan sekarang ini," dia menandaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement