Kisah Nenek Sahabat Satwa yang Berujung di Kursi Pesakitan

Kecintaan nenek Kristin kepada satwa langka justru mengantarkan dirinya ke kursi pesakitan.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 05 Mar 2019, 16:00 WIB
Foto: Dian Kurniawan/ Liputan6.com.

Liputan6.com, Jember - Nenek Kiai Djin Ai alias Kristin (60), warga Dusun Kranjan Gambiran, Desa Curahkalong, Jember, harus berurusan dengan polisi lantaran didakwa memperjualbelikan satwa langka secara ilegal. 

Nenek Kristin telah lama dikenal sebagai seorang penyayang binatang, yang juga Direktur CV Bintang Terang, sebuah usaha penangkaran satwa dilindungi yang berbadan hukum. Awalnya usaha penangkaran 11 jenis satwa yang dilindungi ini legal dan baru dipermasalahkan pada 2015.

"Tahun 2015 izin usaha penangkaran satwa tersebut mati," kata kuasa hukum Kristin, M Dafis, kepada Liputan6.com, Senin sore (4/3/2019).

Lantaran dokumennya mati, lantas Kristin dipidanakan. Dafis menyayangkan kasus tersebut bisa masuk ke ranah pidana. Seharusnya, pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) memberikan pembinaan terlebih dahulu.

Dafis menuturkan, ibarat hubungan keluarga, CV Bintang Terang adalah anak dari BKSDA. Jika terjadi kesalahan, seharusnya diingatkan terlebih dahulu. Sebab nenek Kristin, menurut Dafis, turut berpartisipasi melestarikan satwa langka yang hampir punah.

Akibat tidak memliki dokumen resmi, Kristin diseret ke Pengadilan Negeri Jember. Dia didakwa memelihara dan memperniagakan satwa langka yang dilindungi secara ilegal. Dia akhirnya ditahan, saat pelimpahan tahap 2 atau penyerahan tersangka dan barang buktinya.

Davis menjelaskan, dalam dakwaan jaksa disebutkan, pembelian anak burung dari CV Tropikana tidak berdokumen. Untuk memperkuat dakwaan terhadap Kristin ini, jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan dua orang saksi, yakni ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup, Niken Wuri Handayani, dan pengusaha jual beli satwa di Bali, Dewa.

Dari keterangan dua orang saksi di persidangan, kata Davis, terungkap setiap transaksi satwa, seperti pembelian burung yang dilakukan dengan pengusaha di Bali ini, sesuai keterangan ahli ada surat keterangan.

"BKSDA saya juga nilai lalai, karena yang benar (terkait izin penangkaran sudah habis), mestinya dibina, tidak begitu saja dipidana," tukasnya.

Dia juga mengakui BKSDA telah melakukan teguran satu kali, terkait habisnya izin operasional penangkaran.

"Karena izinnya sudah diurus, Kepala BKSDA Jawa Timur mengakui kok saat itu kalau masih proses. Tapi terkait dakwaan jual beli satwa silakan diproses. Faktanya jual beli ditunjukkan dengan dokumen, tuduhan jual beli tanpa dokumen tidak terbukti," tegasnya.

Sedang JPU Kejaksaan Negeri Jember, Dian Akbar Wicaksana, menjelaskan keterangan kedua saksi tersebut sudah sangat mendukung dakwaan jaksa penuntut umum.

Keterangan para saksi ini, sudah sesuai fakta, tentang asal-usul burung. Sedangkan keterangan ahli terkait legalitas dari kepemilikan satwa burung tersebut, beserta sanksi-sanksinya. Saksi ahli menyebutkan, izin penangkaran mati 2015, tapi hingga tahun 2018, izin belum turun.

"Itu sama saja tidak memiliki izin dan izin edarnya mengikuti. Sebab, burung yang diedarkan berasal dari satwa yang izinnya sudah mati," katanya.

Bahkan, dalam keterangan saksi sebelumnya, lanjut pria yang biasa dipanggil Akbar ini, teguran terhadap terdakwa melalui BKSDA sudah dilakukan. Teguran itu disampaikan jauh-jauh hari sebelum izinnya mati.

"Namun sudah 3 tahun izinnya mati dan tidak ada upaya mengurusi. Seharusnya izin harus dilakukan 3 bulan sebelum mati," ungkap Akbar.

Akbar juga menegaskan, kasus yang menimpa Kristin ini, bukan administrasi, tapi pelanggaran pidana. Karena tidak mengurus izin, minimal 3 bulan sebelum masa berlakunya ijin mati. Akibat kelalaiannya ini, dia terancam hukuman maksimal 6 tahun penjara.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya