Rusia Tangguhkan Partisipasi Perjanjian Senjata Nuklir dengan AS, Kenapa?

Sebelum menangguhkan partisipasi perjanjian senjata nuklir, AS menuduh Rusia mengembangkan dan menggunakan rudal jelajah yang melanggar ketentuan INF. Apakah itu alasannya?

oleh Afra Augesti diperbarui 05 Mar 2019, 12:00 WIB
Kendaraan hipersonik Avangard saat peluncuran di lokasi yang tidak diungkapkan di Rusia. Presiden Vladimir Putin mengumumkan bahwa Rusia telah mengembangkan serangkaian senjata nuklir baru. (RU-RTR Russian Television via AP)

Liputan6.com, Moskow - Vladimir Putin menangguhkan partisipasi Rusia dalam perjanjian senjata nuklir bersama Amerika Serikat, menyusul keputusan Washington untuk menarik diri dari perjanjian The Intermediate-Range Nuclear Forces (INF).

Keputusan tersebut akan tetap diperkukuh oleh Putin sampai AS mengakhiri sikapnya terhadap Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah itu -- sebuah kesepakatan yang dibuat oleh Negeri Paman Sam dan Republik Sosialis Uni Soviet pada 8 Desember 1987 tentang eliminasi misil jangka pendek dan jangka menengah mereka.

Namun di satu sisi, Donald Trump juga menuduh Rusia telah melakukan pelanggaran atas pakta tersebut, meski Rusia terus membantahnya. Washington telah mengungkapkan niatnya untuk mundur dari INF pada satu bulan lalu.

Trump bersedia terlibat kembali dalam perjanjian itu bila Moskow bersedia mematuhi isi kesepakatan dalam jangka waktu 6 bulan. Demikian seperti dilansir dari The Guardian, Selasa (5/3/2019).

Sebelumnya, AS menuduh Rusia mengembangkan dan menggunakan rudal jelajah yang melanggar ketentuan INF dari segi produksi, pengujian, dan penyebaran rudal balistik darat dan rudal balistik dengan jangkauan 500 hingga 5.500 km.

Sebaliknya, Putin pun juga menuding AS telah mencoreng isi INF, dengan mengerahkan fasilitas pertahanan rudal di Eropa Timur yang dapat menembakkan rudal jelajahnya.

Di satu sisi, kacaunya trakat INF telah memicu kekhawatiran akan mencuatnya kembali krisis rudal Eropa di era Perang Dingin, ketika AS dan Uni Soviet sama-sama mengerahkan rudal jarak menengah di benua itu selama periode 1980-an.

Senjata penghancur massal ini membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk mencapai target, dibandingkan dengan rudal balistik antarbenua. Penyebarannya pun dipandang mampu memunculkan adanya konflik nuklir global.

Rusia telah memperingatkan AS agar tidak menempatkan rudal baru di Eropa. Ia menekankan bahwa Negeri Beruang Merah ini akan membalas dengan mengirim senjata baru super cepat yang bisa menyerang targetnya hanya dalam kedipan mata, kata Putin.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Dubes Rusia untuk AS: Kontrol Senjata Sedang Dalam Krisis

Sebuah truk membawa rudal balistik antarbenua Sarmat Rusia terbaru melintasi hutan di lokasi yang tidak diketahui di Rusia. Presiden Vladimir Putin mengklaim bahwa persenjataan mereka tidak dapat dicegat oleh musuh. (RU-RTR Russian Television via AP)

Duta Besar Rusia untuk AS, Anatoly Antonov, telah memperingatkan bahwa kontrol senjata nuklir dua negara ini sedang berada di ujung tanduk. Ia mengklaim, beberapa politisi dan jenderal di Washington mulai bermonopoli untuk memenangkan konflik nuklir.

"Situasi dalam stabilitas strategis dan kontrol senjata sangat buruk. Kami berada dalam krisis," papar Antonov pada penampilan publik yang langka di Washington, sejak ia menjabat sebagai dubes pada Agustus 2017. "Kini saya mengkhawatirkan sejumlah politikus dan pejabat militer di Washington, yang mulai berpikir untuk menjadi juara dalam perang nuklir. Saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk menyampaikan bahwa AS tidak mungkin mendapatkan maunya."

Trump mengumumkan dia menarik AS keluar dari INF pada Oktober lalu, mengutip tuduhan lama AS bahwa rudal yang diuji coba Rusia telah melanggar batas wilayah yang diberlakukan oleh perjanjian INF.

"Ini adalah masalah yang sangat serius," katanya lagi. "Kita bisa kembali ke situasi sebelum 1987, sebelum kita menandatangani perjanjian ... Kita akan dipaksa untuk mengerahkan rudal kita dan di sini, Anda akan melihat bahwa seluruh wilayah negara-negara Eropa akan ditembaki."

"Siapa yang kalah?" Tanya Antonov. "Negara-negara Eropa, termasuk Rusia. Ini adalah tantangan baru bagi keamanan kita yang akan kita hadapi," tegasnya.

Dia menunjuk sebuah pertemuan pada hari Senin di Wina, antara ketua kepala staf gabungan AS, Jenderal Joseph Dunford, dan mitranya dari Rusia, Jenderal Valery Gerasimov, sebagai contoh bagaimana beberapa dialog militer masih berlangsung antara kedua kekuatan nuklir.

Kedutaan Rusia di AS mengatakan, Ketua Kepala Staf Gabungan Amerika Serikat, Joseph Dunford, dan mitranya dari Rusia, Valery Gerasimov, masih terus melakukan dialog terkait persengketaan ini: perjanjian INF dan masalah rudal.

Moskow mengklaim bahwa sistem pertahanan rudal AS di Eropa timur, yang dimaksudkan untuk menghadapi potensi ancaman dari Iran, dapat diubah menjadi landasan peluncuran rudal ofensif yang ditujukan ke Rusia.

Pentagon menyampaikan, kedua jenderal itu juga membahas soal Suriah dan upaya untuk menghindari bentrokan antara pasukan AS dan Rusia di negara yang telah lama terdampak perang ini.

Antonov berpendapat bahwa jika AS dan Rusia, yang menyumbang lebih dari 90% hulu ledak nuklir dunia, membiarkan INF runtuh, maka risikonya adalah proliferasi (kegiatan penyebarluasan senjata) nuklir secara global.

Ia menambahkan, akan ada pemberontakan yang mungkin dijalankan oleh negara-negara yang tidak memiliki senjata nuklir pada konferensi tahun depan untuk meninjau Nuclear Non-Proliferation Treaty (Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir atau disingkat NPT), yang mulai berlaku pada tahun 1970.

Di bawah NPT, negara-negara senjata non-nuklir berjanji untuk tidak memproduksinya, jika lima negara yang terlibat di dalamnya (AS, Rusia, Inggris, Prancis, dan China) mengambil langkah signifikan untuk melucuti senjata pemusnah massal mereka.

"Saya tidak ingin berpartisipasi dalam konferensi ini karena akan menjadi bencana," pungkas Antonov.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya