Perang Dagang AS-China Tak Terlalu Pengaruhi Pasar Saham Indonesia

Meskipun tahun ini GDP Indonesia mengalami pelemahan akibat penurunan investasi, namun diyakini akan membaik pada 2020.

oleh Ayu Lestari Wahyu Puranidhi diperbarui 05 Mar 2019, 16:29 WIB
Ilustrasi pasar saham. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Perekonomian global saat ini sedang melemah sebagai dampak perang dagang antara 2 negara besar yakni Amerika Serikat (AS) dan China. Namun kondisi ini dinilai tidak terlalu mempengaruhi pasar saham di Indonesia.

Ini dikatakan Joshua Tanja, Head of Research UBS, dalam UBS Indonesia Conference 2019 di Jakarta, Selasa (5/3/2019).

Perang dagang AS-China tidak terlalu mempengaruhi pasar saham Indonesia karena ekspor negara ini yang tak terlalu bergantung pada keduanya. Tidak seperti Filipina, Thailand serta negara-negara yang terbuka perekonomiannya.

“Perang dagang yang terjadi antara AS dan China tidak mempengaruhi equity market Indonesia, karena Indonesia tidak bergantung pada ekspor kedua negara ini,” ujarnya.

“Jadi mau perang dagang itu up atau memuncak lagi, ini tidak akan mempengaruhi Indonesia. tidak seperti negara-negara lain yang perekonomiannya terbuka,” tambah dia.

Dikatakan pula, meskipun tahun ini GDP Indonesia mengalami pelemahan akibat penurunan investasi, namun diyakini akan membaik pada 2020. Perekonomian Indonesia stabil di tengah melemahnya pertumbuhan ekonomi global.

 


Bos BI Optimis Pertumbuhan Ekonomi Tahun Ini Capai 5,3 Persen

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menggelar konferensi pers di Jakarta, Kamis (17/1). Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2019 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini lebih baik dibandingkan pada 2018. Meski masih akan menghadapi gejolak, pertumbuhan ekonomi bisa berada di kisaran 5,3 persen.

"Outlook ekonomi (tahun ini), optimis, optimis, optimis. Pertumbuhan ekonomi 5,2-5,3 persen," katanya di acara CNBC Economic Outlook 2019, di Jakarta, Kamis (28/2/2019).

Pertumbuhan tersebut dapat tercapai apabila permintaan kebutuhan domestik dalam negeri dapat didorong dan meningkat di kisaran 5,5 persen. Kemudian, investasi juga tumbuh positif berada di angka 6,7 persen.

Meski diperkirakan akan tumbuh, namun neraca perdagangan Indonesia diikhawatirkan tetap melemah. Ini dikarenakan kondisi pasar global yang belum cukup tenang.

"Masalahnya global gonjang ganjing ekspor susah impor juga masih negatif," imbuhnya.

Di samping itu, lanjut Perry, yang membuat dirinya yakin pertumbuhan ekonomi tahun ini semakin baik yakni melihat kondisi nilai tukar Rupiah cenderung menguat. Berbeda dengan tahun lalu, dimana Rupiah sepanjang 2018 tercatat terdepresiasi sebesar hingga 6,9 persen.

Penguatan Rupiah ini juga didorong oleh beberapa hal utama. Salah satunya adalah aliran modal asing yang masuk ke Indonesia cukup deras. "Faktor lain kondisi fundamental baik, dan pasar valas semakin berkembaang tidak hanya SWAP, DNDF. NTR stabil dan cenderung menguat," katanya.

Kemudian, yang menjadi fokus Bank Indonesia dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi juga dengan cara mengendalikan defisit transaksi berjalan. Sebab, defisit pada 2018 tercatat sebesar USD 31 miliar atau setara dengan 2,98 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

"Yang jadi fokus stabilitas eksternal. itu gimana terus mengendalikan CAD dan menaikkan surplus dari neraca modal," pungkasnya.

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya