Liputan6.com, Riyadh - Hubungan antara Raja Salman bin Abdulaziz Al Saud dan Pangeran Mohammed dikabarkan mengalami keretakan oleh sebuah sumber kerajaan Arab Saudi. Renggangnya relasi ini berpotensi mengganggu kestabilan antara Sang Raja dan ahli warisnya.
Mengutip situs The Guardian, Rabu (6/3/2019), Raja Salman dilaporkan tidak menyetujui sejumlah kebijakan yang diputuskan oleh Putra Mahkota dalam beberapa pekan terakhir, termasuk bantuan yang diberikan kepada Yaman.
Advertisement
Konflik batin ini dikatakan kian meningkat sejak Arab Saudi terseret ke dalam kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, yang menurut CIA, Mohammed bin Salman (MBS) adalah orang yang memerintahkan para algojo untuk menghabisi nyawa kolumnis Washington Post itu.
Kemudian, jarak di antara Raja Salman dan MBS semakin memanas pada akhir Februari ketika raja yang berusia 83 tersebut mengunjungi Mesir. Para penasihatnya memperingatkan bahwa MBS berisiko melangkahi dirinya jika kekuasaan diserahkan kepadanya, meski hanya sementara.
Putra Mahkota yang ditunjuk sebagai "wakil raja" selama Salman melakukan lawatan ke Mesir, telah menandatangani dua pergantian pejabat tinggi kerajaan tanpa sepengetahuan raja, yakni pengangkatan seorang duta besar wanita untuk Amerika Serikat, Putri Reema binti Bandar bin Sultan, dan saudara lelakinya, Khalid bin Salman yang mengisi posisi Wakil Menteri Pertahanan Saudi.
Oleh karena itu, Raja Salman pun dikabarkan marah dan menyebut keputusan MBS adalah langkah prematur. Gesekan dalam hubungan ayah dan anak itu kembali mencuat ke publik ketika pangeran tidak ada di antara rombongan yang dikirim untuk menyambut Raja Salman tiba di Arab Saudi setelah kunjungan dari Mesir.
Siaran pers resmi yang mencantumkan para tamu di bandara Riyadh mengkonfirmasi, MBS tidak ada di dalam daftar tersebut.
Selain itu, para pendukung raja telah mendorong Salman untuk lebih terlibat dalam sejumlah pengambilan keputusan, agar bisa mencegah MBS mengambil lebih banyak kekuasaan.
Pada hari Senin, seorang juru bicara kedutaan Saudi di Washington mengatakan, "Sudah menjadi kebiasaan bagi raja Arab Saudi untuk mengeluarkan perintah kerajaan yang mendelegasikan kekuasaan untuk mengatur urusan negara kepada wakilnya, Putra Mahkota, setiap kali beliau melakukan kunjungan luar negeri."
Ia menambahkan, keputusan itu dibuat oleh Pangeran Mohammed dalam kapasitasnya sebagai wakil raja dan atas nama raja.
Pangeran Mohammed dan Raja Salman juga berselisih paham mengenai masalah kebijakan luar negeri yang signifikan, menurut sumber itu, termasuk penanganan tawanan perang di Yaman, dan respons Saudi terhadap protes di Sudan dan Aljazair.
Raja dikatakan tidak setuju dengan pendekatan garis keras yang dilakukan oleh MBS untuk menekan protes. Meski Salman bukan seorang reformator, namun ia dikatakan telah mendukung kebebasan pers dalam meliput protes di Aljazair.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Disalahartikan?
Analisis lain mengatakan, mungkin saja situasi yang terlihat di mata publik dan awak media disalahtafsirkan.
Neil Quilliam, pengamat Timur Tengah dan Afrika Utara di Chatham House, mengatakan bahwa bahkan jika Pangeran Mohammed menunjuk pejabat baru selama ayahnya tidak di tempat, maka haknya itu sudah sesuai dengan kebijakan yang disepakati. Misalnya, soal penunjukkan dubes Arab Saudi untuk AS.
"Namun, tindakannya tersebut akan menunjukkan obsesi MBS yang ingin kerajaan konservasi ini terus berubah, di samping kemauan untuk menegaskan otoritasnya," kata Quilliam. "Kami melihat ada perbedaan di antara keduanya, terutama pada masalah Yerusalem, meski MBS tidak mungkin mendorong ayahnya terkait persoalan ini."
Dia menambahkan, ketidakhadiran Sang Pangeran ketika Raja Salman kembali ke Saudi dari kunjungannya ke Mesir merupakan sebuah pelanggaran protokol. Akan tetapi, mungkin ada sejumlah alasan untuk keabsenannya.
Sementara itu, Putra Mahkota juga telah menghadapi kecaman internasional atas kasus pembunuhan Jamal Khashoggi, yang dilaporkan tewas dimutilasi di dalam konsulat Saudi di Istanbul.
Meski pemerintah Saudi telah membantah keterlibatan oleh pangeran, namun CIA mengungkapkan bahwa jurnalis ini dihabisi oleh oihak kerajaan karena berkali-kali menuliskan protes kerasnya terhadap Saudi di media-media asing.
Laporan CIA tersebut tidak banyak berpengaruh pada pemerintahan Donald Trump, yang menikmati hubungan dekat dengan Arab Saudi dan berupaya mengecilkan arti penting tewasnya Khashoggi.
Advertisement