Bawaslu Soal WNA Masuk DPT: Tinggal Hapus Saja

Kementerian Dalam Negeri telah menyerahkan data 103 warga negara asing (WNA) yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) kepada KPU dan Bawaslu.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 06 Mar 2019, 17:28 WIB
Data temuan Bawaslu Kota Cirebon menyebutkan dua WNA asal Jepang dan China masuk dalam DPT Pemilu 2019. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Dalam Negeri telah menyerahkan data 103 warga negara asing (WNA) yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) kepada KPU dan Bawaslu. Data tersebut telah diserahkan dalam rangka membantu KPU untuk mewujudkan DPT yang akurat.

Bawaslu mengatakan, pihaknya juga sudah ikut menelusuri keberadaan WNA yang masuk dalam DPT. Misalnya di daerah Trenggalek, Jawa Timur.

"Kami juga melakukan pelacakan. Di Trenggalek ada satu orang yang dia warga negara asing tapi masuk DPT juga. Kemudian di Yogyakarta ada sekitar 7," ucap Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifudin, dalam sebuah diskusi di bilangan Cikini, Jakarta, Rabu (6/3/2019).

Menurut dia, poin pentingnya bukan pada banyaknya WNA yang masuk DPT. Tapi bagaimana semua pihak berusaha terus menerus memperbaiki DPT sebelum hari H pemungutan suara pada 17 April 2019.

Oleh karena itu, dia meminta masalah ini tidak dibesar-besarkan. Terlebih, nama-nama dapat langsung dihapus dari DPT.

"Ini kan bagian dari koreksi data DPT, yang sebenarnya kita sama-sama ubah sebelum hari H. Tidak mungkin kita terlalu defensif, kemudian menyalahkan. Tinggal data diberikan, dihapus dalam DPT, selesai," ungkap Afifudin.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Memungkinkan Berdasar UU

Dia menjelaskan, Undang-Undang Pemilu membuka ruang bagi mekanisme tersebut. Semuanya dilakukan untuk menjaga kualitas Pemilu.

"Undang-undang kita juga mengatur dengan istilahnya memelihara DPT. Misalnya ada orang yang tidak memenuhi syarat ada di situ, ya kita keluarkan. Ini kan untuk menjaga kualitas Pemilu," tegas Afifudin.

Namun, lanjut dia, di media sosial, masalah ini seakan-akan menjadi besar dan berbahaya.

"Tapi di media sosial digorengnya dilebihkan dari itu. Kami sampai reaktif," kata Afifudin.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya