Menghayati Pagi dari Rumah Baghi yang Kaya Makna Filosofi

Ada pemandangan pagi yang menarik saat melintasi Desa Tegurwangi di kaki Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 07 Mar 2019, 06:01 WIB
Foto: Ahmad Ibo/ Liputan6.com.

Liputan6.com, Pagaralam - Budaya masyarakat Besemah Pagaralam punya sejarah keberadaan yang panjang. Hal itu tergambar salah satunya dari Rumah Baghi yang kaya makna filosofi.

Saat tim Liputan6.com berkunjung ke Desa Tegurwangi, di Kaki Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan, udara sejuk menyapa. Ada pemandangan unik di tengah sawah saat melintasi desa itu. Rumah bermuatan tradisional mengalihkan fokus indahnya pemandangan Gunung Dempo. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Rumah Baghi

Rumah Baghi merupakan rumat adat yang sudah digunakan sejak beratus tahun lampau oleh para nenek moyang masyarakat Besemah, Pagaralam.

Rumah ini memiliki ciri khas pada atapnya yang meruncing bagai tanduk. Dilihat dari bentuk atapnya, rumah baghi hampir sama dengan rumah adat Minang dan Toraja, satu yang membedakannya adalah atap rumah baghi tidak terlalu runcing dan terbuat dari ijuk atau serabut pohon aren dengan kerangkanya yang terbuat dari bambu.

Konstruksi bangunan menggunakan pasak yang menghubungkan bagian rangka. Menariknya, semua bagian-bagian dihubungkan tanpa menggunakan paku. Begitu juga dalam pemasangan lembaran-lembaran papan dinding, dipasang pada kerangka dinding melalui lubang alur sebagai penguncinya.

Ciri khas lain yang ada pada rumah baghi adalah, sejak awal, rumah baghi dibuat tidak menggunakan jendela dan hanya memiliki satu daun pintu di bagian tengah. Daun pintu tersebut terbuat dari sekeping kayu dengan engsel berupa sumbu yang ada di atas dan di bawah daun pintu.

Ketika memasuki Rumah Baghi, pengunjung akan mendapati rumah adat ini yang tanpa sekat atau kamar. Meski demikian, lantai di dalam ruangan memiliki dua tingkat. Lantai yang lebih tinggi itu terdapat pada bagian depan ruangan. Tempat tersebut diperuntukan sebagai tempat duduk meraje, yaitu keluarga dari garis keturunan laki-laki, seperti kakek, wak, dan paman.

Sementara bagian bawahnya diperuntukan bagi anak belai, yaitu keturunan perempuan beserta suami dan anak cucu. Dari penempatan tersebut, terlihat bahwa masyarakat adat Besemah menganut garis keturunan laki-laki atau patrilineal.

H Musa, keturunan pemilik satu-satunya rumah baghi mengatakan, dari bentuknya secara keseluruhan, rumah baghi terdiri dari tiga ukuran, yaitu kecil, sedang, dan besar. Ukuran rumah baghi yang berbeda-beda tersebut merupakan penunjuk status sosial orang yang memilikinya.

"Selain ukuran rumah, corak, dan ornamen rumah yang indah juga menjadi penunjuk status sosial," katanya. 

 


Bantuan Roh Halus

Rumah Baghi dibangun tanpa menggunakan paku. Foto: Liputan6.com/ Ahmad Ibo

Ukuran besar-kecil rumah baghi yang bisa menunjukan status sosial orang yang memilikinya bukan tanpa sebab, pasalnya bahan baku pembuatan rumah baghi yang terbuat dari kayu pulai didapat dari hutan. Ada dua versi yang berpendapat tentang bagaimana cara masyarakat Besemah di zaman dahulu mengumpulkan kayu pulai dari hutan untuk membangun rumah.

Versi pertama mengatakan, kayu-kayu pulai dibawa oleh roh halus yang didatangkan saat pemilik  rumah hendak membangun rumah baghi. Sedang versi yang lain mengatakan, proses pembawaan kayu-kayu pulai bahan utama pembuatan rumah baghi dibantu oleh hewan ternak, semisal sapi atau kerbau.

Terlepas dari kedua versi tersebut, dapat disimpulkan, sejak dahulu masyarakat adat Besemah sudah memiliki daya cipta dan seni yang sangat tinggi. Hal tersebut juga tercermin dari bentuk fisik dan ornamen yang ada pada eksterior dan interior bangunan rumah. Apalagi pewaris rumah baghi sudah membuktikan, meski sudah berumur ratusan tahun, rumah baghi yang ada di Desa Tegurwangi, Pagaralam, Sumatera Selatan, masih berdiri kokoh hingga saat ini. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya