Liputan6.com, Jenewa - Komisioner Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet mengatakan dia mencari akses ke China untuk memeriksa laporan dugaan "penghilangan dan penahanan sewenang-wenang," terhadap kelompok minoritas di Wilayah Otonomi Xinjiang-Uighur (XUAR).
Sebuah laporan panel Dewan HAM PBB di Jenewa pada Agustus 2018 telah menyatakan bahwa "1 juta etnis Uighur dan lainnya diyakini ditahan di fasilitas serupa kamp internir di Xinjiang."
Pejabat China membantah pendefinisian "kamp internir" yang diberikan panel PBB, dan menyebut fasilitas itu sebagai "pusat pelatihan vokasional dan deradikalisasi" yang menampung "sejumlah warga yang terinfeksi ekstremisme dan radikalisme."
Baca Juga
Advertisement
Beberapa pejabat China juga mengatakan bahwa fasilitas itu diperlukan "demi stabilitas pembangunan di Xinjiang yang selama beberapa tahun terakhir kerap dilanda kekerasan yang menelan korban jiwa yang dilakukan oleh orang-orang yang terjangkit ekstremisme, radikalisme dan separatisme" --menurut informasi yang diperoleh langsung oleh Liputan6.com saat mengunjungi Xinjiang akhir Februari 2019.
Komisioner Bachelet, yang mempresentasikan laporan tahunannya kepada Dewan HAM PBB di Jenewa pada 6 Maret 2019, mengatakan stabilitas dan pembangunan di Xinjiang dapat dibantu oleh kebijakan yang menunjukkan penghormatan pihak berwenang terhadap hak-hak minoritas.
"Area ini berada di pusat Inisiatif Belt and Road (Jalur Sutera Baru), memungkinkan koridor tanah ke Asia Tengah, Asia Selatan dan Eropa, dan saya yakin bahwa stabilitas dan keamanan di kawasan ini dapat difasilitasi oleh kebijakan yang menunjukkan penghormatan pihak berwenang terhadap hak-hak semua orang," kata Bachelet seperti dikutip dari Radio Free Europe (terafiliasi Voice of America), Jumat (8/3/2019).
China menghadapi kecaman dari negara Barat dan komunitas pegiat HAM atas kebijakannya terhadap kelompok minoritas di Xinjiang yang diduga melanggar hak asasi kelompok Uighur dan etnis minoritas lain --seperti Kazakh, Kirgiz, dan lainnya.
Namun, Beijing bersikukuh bahwa kebijakan tersebut merupakan upaya untuk mencegah ekstremisme di wilayah barat yang terpencil akibat "maraknya ajaran yang tidak masuk akal" dari para ekstrimis di sana yang telah mengubah beberapa orang menjadi "pembunuh."
Xie Zhangwei, seorang sekretaris pertama untuk misi diplomatik China di Markas PBB di Jenewa, mengatakan kepada Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada hari Selasa bahwa China menentang "ekstremisme", diskriminasi, kekerasan atau intoleransi.
"Berbagai kelompok agama, beriman dan tidak beragama, saling menghormati satu sama lain dan hidup dalam harmoni," tambahnya seperti dikutip dari Al Jazeera.
Sementara itu, Wakil Presiden Asosiasi Islam China (organisasi Islam yang disponsori pemerintah) Abdul Amin Jin Rubin, apa yang diberitakan dan dilaporkan oleh Barat tentang Uighur adalah sesuatu yang tidak sesuai kenyataan dan cenderung berlebihan.
"Saya pikir tidak ada pelanggaran hak asasi manusia ataupun diskriminasi terhadap Uighur di Xinjiang," kata Jin Rubin melalui penerjemah kepada beberapa media Indonesia di Beijing, 18 Februari 2019.
"Di Xinjiang ada aktivitas pemberantasan terorisme dan aktivitas kekerasan lainnya, tapi hal itu tidak khusus menargetkan kelompok etnis atau agama tertentu," tandas pria yang juga berprofesi sebagai dosen Sastra Arab di Institut Islam China.
"Fasilitas edukasi dan pelatihan murni bersifat vokasional dan tidak secara langsung menargetkan kelompok partikular ... dan sejauh ini, program itu telah efektif menstabilkan kondisi (di Xinjiang)," tambah Abdul Amin Jin Rubin.
Simak video pilihan berikut:
Pakar Kebebasan Beragama PBB Juga Minta Akses
Penyelidik PBB untuk kebebasan beragama juga telah meminta China untuk mengizinkannya mengunjungi Xinjiang demi melihat tentang kondisi Uighur di provinsi terbarat Tiongkok tersebut.
China juga belum menjawab permintaan yang ia ajukan pada Februari 2019 lalu, lanjutnya seperti dikutip dari Al Jazeera, 8 Maret 2019.
Shaheed, seorang mantan menteri luar negeri Maladewa, mengungkapkan bahwa ia berada di antara beberapa pakar hak-hak PBB yang menulis surat ke China November lalu guna menyuarakan kecemasan pada programnya yang menargetkan "ekstrimisme".
Surat yang juga ditandatangani oleh penyelidik PBB lain, mengangkat isu tentang dugaan penahanan sewenang-wenang, penghilangan, kebebasan berekspresi, masalah minoritas, dan melindungi hak-hak sambil melawan "terorisme".
"Saya menulis ke China bersama dengan beberapa pelapor lainnya tentang undang-undang 'ekstremifikasi' yang mereka laksanakan yang menghasilkan --menurut beberapa laporan-- jutaan orang diinternir," kata Shaheed.
"Keprihatinan yang kami ajukan pertama-tama adalah bahwa undang-undang itu terlalu luas dan menargetkan kegiatan yang pada dasarnya dilindungi oleh komunitas, dalam hal hak mereka untuk berpikir, hati nurani dan keyakinan. Jadi, berbagai macam pelanggaran terjadi di komunitas ini," katanya.
Advertisement