Jakarta jadi Kota dengan Polusi Udara Terparah di Asia Tenggara

Laporan terbaru yang diungkap Greenpeace menunjukkan bahwa Jakarta bisa berpotensi seperti Beijing dan Bangkok yang mengalami masalah akibat polusi udara

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 09 Mar 2019, 12:00 WIB
Aktivis membentangkan spanduk saat kampanye damai terkait buruknya udara Jakarta di Bundaran HI, Rabu (5/12). Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan kepada pemerintah akibat lalai dalam menangani polusi udara di Jakarta. (Merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Laporan terbaru yang diungkap Greenpeace menyatakan bahwa DKI Jakarta menjadi kota dengan polusi udara paling tinggi di Asia Tenggara. Angka polusi udara yang tercatat menunjukkan sudah melebihi batas aman yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).

Menurut siaran pers dalam laman resmi greenpeace.org dikutip Jumat (8/3/2019), laporan berjudul IQAir AirVisual 2018 World Air Quality Report dan daftar kota-kota paling tercemar di dunia mengungkap tentang hal tersebut. Polusi udara menelan korban sekitar tujuh juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya, termasuk kerugian ekonomi.

Temuan dalam laporan tersebut menunjukkan dua kota paling berpolusi di Asia Tenggara adalah Jakarta, Indonesia dan Hanoi, Vietnam. Ibu Kota Indonesia ini berisiko menyusul kota-kota besar di Tiongkok dengan pencemaran udara tertinggi. Adapun, Beijing menempati peringkat 122 sebagai kota tercemar di dunia pada 2018.

Greenpeace mengungkapkan bahwa konsentrasi rata-rata tahunan PM2.5 di Jakarta pada 2018 sangatlah buruk. Jakarta Selatan mencapai 42.2 µg/m3 dan Jakarta Pusat mencapai 37.5 µg/m3.

"Dengan kata lain, konsentrasi PM2.5 di Kota Jakarta mencapai empat kali lipat di atas batas aman tahunan menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO, yaitu 10 µg/m3 dan bahkan melebihi batas aman tahunan menurut standar nasional pada PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, yaitu 15 µg/m3," tulis laman tersebut. 

 

Saksikan juga video menarik berikut ini:

 


Terancam seperti Bangkok tahun lalu

Kabut tipis menyelimuti udara di salah satu sudut kota Jakarta, Selasa (10/7). Tingkat polusi di Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat sehingga menyebabkan pemandangan menjadi berkabut dan mengancam kesehatan pernapasan. (Merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Peningkatan jumlah kendaraan pribadi di Jakarta setiap harinya menyebabkan kualitas udara menjadi buruk. Selain itu, sumber polutan lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap yang ada di sekeliling Jakarta dalam radius 100 kilometer, berkontribusi terhadap meningkatnya pencemaran.

Pemodelan Greenpeace juga menemukan bahwa PLTU Batubara yang beroperasi berkontribusi sebanyak 33 sampai 38 persen dari konsentrasi PM2.5 harian di Jakarta pada kondisi terburuk.

“Buruknya kualitas udara juga pernah terjadi di Jakarta dengan level konsentrasi PM2.5 yang sama dengan Bangkok, yaitu pada bulan Juli dan Agustus,” ujar Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Tata Mustasya.

 

Tahun lalu, masalah kualitas udara di Bangkok, Thailand menjadi perhatian serius dari pemerintah. Mereka menutup ratusan sekolah dan melakukan penyemprotan air di udara dengan drone.

Sayangnya, Tata menyatakan bahwa pemerintah Indonesia masih menyangkal bahwa polusi udara yang ada sudah berada dalam kategori berbahaya dan menyatakan udara kota Jakarta masih dalam kategori sehat. Untuk itu, Tata meminta agar standar pengukuran polutan diperkuat, serta memperbanyak stasiun pemantauan kualitas udara yang dianggapnya "menjadi hal yang sangat mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah Indonesia."

“Tindakan nyata yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dan nasional untuk mengatasi dampak polusi udara adalah dengan menyediakan infrastruktur pemantauan dan pelaporan yang memadai. Penyebab umum di seluruh dunia yang paling nyata adalah pembakaran bahan bakar fosil: batu bara, minyak, dan gas," kata Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara Yeb Sano dalam pernyataan resminya.

"Yang perlu kita lihat adalah, para pemimpin harus berpikir serius tentang kesehatan kita dan perubahan iklim dengan memastikan transisi yang adil dari bahan bakar fosil menuju energi terbarukan sambil memberi tahu kita dengan jelas bagaimana kualitas udara kita, sehingga kita bisa mengambil langkah-langkah untuk mengatasi krisis kesehatan dan iklim ini," tambah Yeb Sano.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya