Liputan6.com, Jakarta Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko meminta pada pegiat atau aktivis tak mencari popularitas dengan cara melawan kepada TNI. Hal tersebut dikatakan Moeldoko menanggapi penangkapan aktivis HAM Robertus Robet lantaran dituduh menghinan TNI.
"Jadi menurut saya janganlah rekan-rekan sekalian para pegiat apapun namanya itu jangan cari gara-gara dengan TNI, enggak usah, jangan mencari popularitas melawan TNI, jangan. TNI milik kita semua," kata Moeldoko di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Jumat 8 Maret 2019.
Advertisement
Moeldoko mengakui bahwa TNI pada 1998, TNI memang dianggap sebagai reformasi musuh bersama. Namun, TNI telah melakukan reformasi internal pasca tumbangnya Orde Baru di bawah kekuasaan Presiden ke-2 RI Soeharto. Saat ini, TNI sudah hidup berdampingan dengan rakyat dan terbukan dengan kritik.
"Sudahlah kita hidup berdampingan dengan baik, kritik boleh tapi jangan merusak piskologi prajurti, psikologi prajurit kita sudah baik, jangan dilukai dengan hal-hal itu. Nyanyian masa lalu sudahlah masa lalu," ujarnya.
Moeldoko meminta agar masyarakat tak lagi melihat TNI dari sudut pandang masa lalu. Mantan Panglima TNI itu mengaku telah bekerja keras melakukan pembenahan di internal TNI. Untuk itu, dia memastikan tak akan ada dwifungsi di era reformasi ini.
"Saya bekerja keras untuk memperbaiki situasi. Itu kira-kira kami memandang, saya pastikan tidak akan kembali dwifungsi ABRI, itu kunci," ucapnya.
Seperti diketahui, Robertus ditangkap setelah penggalan videonya diduga menghina TNI viral di media sosial. Nyanyian Robertus yang dinilai menghina TNI itu diduga dilakukan saat Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka pada Kamis 28 Februari 2019.
Dalam perkara ini, dosen Universitas Negeri Jakarta itu dipersangkakan dengan Pasal 207 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia. Meski begitu, polisi tidak menahan Robertus karena ancaman hukumannya di bawah lima tahun.