Jurus Jaksa Sulsel Limpah Perkara Korupsi Meski Terdakwa Buron

Kejati Sulsel akan tempuh upaya hukum tindak in absentia agar perkara korupsi lahan di Sulsel bisa masuk ke persidangan meski terdakwanya berstatus DPO alias buron.

oleh Eka Hakim diperbarui 09 Mar 2019, 23:00 WIB
Kepala Kejati Sulsel, Tarmizi menegaskan akan tempuh tindak in absentia untuk melimoahkan perkara korupsi lahan di Sulsel meski terdakwanya masih buron (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) berencana melimpahkan perkara dugaan korupsi lahan di Sulsel ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), meski terdakwa dalam perkara tersebut masih memburon.

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel), Tarmizi mengatakan upaya tersebut merupakan petunjuk dari pimpinan sekaligus hasil dari rapat kerja teknis (rakernis) bidang pidana khusus di Kejaksaan Agung pekan lalu.

Di mana dinyatakan bahwa jika terdakwa DPO atau melarikan diri agar dikaji untuk dilimpahkan secara tindak in absentia.

"Jadi ini sudah ada petunjuk. Aspidsus dan Kasidik saya harap kaji ini lebih dalam agar syarat bisa segera terpenuhi perkara yang tersangka atau terdakwanya DPO bisa dilimpah secara tindak in absentia," jelas Tarmizi di kantor Kejati Sulsel, Jumat 8 Februari 2019.

Perkara dugaan korupsi lahan di Sulsel yang tersangkanya berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO) atau melarikan diri sejak di tahap penyidikan ada dua perkara. Yakni perkara dugaan korupsi pembebasan lahan underpass simpang lima Bandara di Kecamatan Biringkanaya, Makassar dan dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar.

"Kalau perkaranya sudah lengkap (P.21). Maka kita akan kaji dan tempuh jalur in absentia. Seperti kasus underpass itu, kan sudah status P.21 meski seorang tersangka atau terdakwanya masih DPO atau buron," tutur Kepala Kejatii Sulsel itu.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 


Kronologi Dua Perkara Korupsi Lahan di Sulsel yang Terdakwanya Berstatus Buron

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Tarmizi (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Hingga saat ini, pengejaran terhadap dua buronan kasus korupsi lahan di Sulsel belum juga membuahkan hasil. Meski pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) mengaku telah membentuk tim khusus hingga berkordinasi dengan institusi penegak hukum lainnya.

Kedua buronan kasus korupsi lahan tersebut masing-masing Soedirjo Aliman alias Jentang yang berstatus tersangka dalam dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar dan Rosdiana yang berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan underpass simpang lima Bandara di Kecamatan Biringkanaya, Makassar.

Jentang dikabarkan minggat bersama istrinya ke Jakarta tepatnya Kamis 2 November 2017 pasca ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar. Dan hingga saat ini memilih buron dan tak memenuhi panggilan penyidik Kejati Sulsel.

Ia dinilai berperan sebagai aktor utama dibalik terjadinya kerugian negara dalam pelaksanaan kegiatan penyewaan lahan negara yang terdapat di Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, Makassar itu.

Penetapan dirinya sebagai tersangka telah dikuatkan oleh beberapa bukti diantaranya bukti yang didapatkan dari hasil pengembangan fakta persidangan atas tiga terdakwa sebelumnya dalam kasus korupsi penyewaan lahan negara Buloa yang hingga saat ini perkaranya juga masih bergulir di tingkat kasasi. Ketiga terdakwa tersebut masing-masing M. Sabri, Rusdin dan Jayanti.

Selain itu, bukti lainnya yakni hasil penelusuran tim penyidik dengan Pusat Pelatihan dan Aliran Transaksi Keuangan (PPATK). Dimana dana sewa lahan diambil oleh Jentang melalui keterlibatan pihak lain terlebih dahulu.

Ia diduga turut serta bersama dengan terdakwa Sabri, Rusdin dan Jayanti secara tanpa hak menguasai tanah negara seolah-olah miliknya sehingga PT. Pembangunan Perumahan (PP) Persero selaku Pelaksana Proyek Makassar New Port terpaksa mengeluarkan uang sebesar Rp 500 Juta untuk biaya penyewaan tanah.

Dana tersebut diduga diterima oleh Jentang melalui rekening pihak ketiga untuk menyamarkan asal usulnya.

Tak hanya itu, penetapan Jentang sebagai tersangka juga merupakan tindak lanjut dari langkah Kejati Sulsel dalam mengungkap secara tuntas dugaan penyimpangan lain di seputar lokasi proyek pembangunan Makassar New Port untuk mendukung percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional di Sulsel.

"Kejati Sulsel segera melakukan langkah langkah pengamanan aset untuk mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar dari upaya klaim-klaim sepihak atas tanah negara di wilayah tersebut ,"tegas Jan S Maringka, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel yang saat ini menjabat sebagai Jaksa Agung Muda bidang Intelkam (JAM Intelkam) Kejagung.

Atas penetapan tersangka dalam penyidikan jilid dua kasus Buloa tersebut, Kejati Sulsel pun langsung mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam rangka koordinasi penegakan hukum.

"Tersangka (Jentang) disangkakan dengan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU No. 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) ," jelas Jan.

Hampir sama dengan Jentang, Rosdiana memilih mangkir dari panggilan penyidik Kejati Sulsel pasca statusnya ditingkatkan sebagai tersangka. Ia bersama Ahmad Rifai, Kasubag Pertanahan Pemerintah Kota Makassar (Pemkot Makassar) ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembebasan lahan proyek underpas simpang lima Bandara.

Dalam proyek tersebut, Rosdiana diketahui bertindak sebagai penerima ganti rugi lahan sedangkan Ahmad Rifai bertindak sebagai Sekretaris Tim Pengadaan Lahan.

Dari hasil penyidikan, Ahmad Rifai diduga melakukan kongkalikong dengan Rosdiana yang bertindak seolah-olah sebagai kuasa penerima anggaran atas lahan yang masuk dalam pembebasan proyek underpass simpang lima Bandara.

Padahal, lahan yang dimaksud atau diajukan oleh Rosdiana tersebut, tidak termasuk sebagai lahan yang dibebaskan dalam proyek pembangunan underpass. Hal ini terbukti dengan temuan sertifikat tanah yang diajukan untuk diganti rugi.

"Jadi ada sebidang tanah yang menerima pembayaran adalah orang yang tidak berhak. Artinya ada kongkalikong. Jadi ada orang yang bertindak seolah-olah sebagai penerima ganti rugi padahal dia tidak berhak," jelas Kepala Kejati Sulsel, Tarmizi.

Dari perbuatan keduanya, negara diduga dirugikan sebesar Rp 3.482.500.000 sesuai dari hasil perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Sulawesi Selatan (BPKP Sulsel).

"Uang ganti rugi lahan yang diterima oleh Rosdiana sebesar nilai kerugian negara tersebut, dimana Ahmad Rifai turut mendapat fee sebesar Rp 250 juta dari Rosdiana," urai Tarmizi.

Proyek pembebasan lahan proyek underpas simpang lima Bandara, diselidiki oleh Kejati Sulsel pada awal tahun 2017 lalu. Dimana proyek tersebut diketahui menggunakan anggaran yang bersumber dari APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang dijalankan oleh Balai Jalan Metropolitan Makassar (BJMM) senilai Rp 10 miliar.

Dalam perjalanannya, Pemkot Makassar diminta oleh BJMM untuk menyediakan lahan yang akan digunakan pada proyek tersebut. Selain itu Pemkot juga diminta untuk membuat daftar nominatif (inventarisasi lahan) yang akan digunakan untuk pembebasan lahan proyek underpass.

Namun dalam perjalanan pelaksanaan pembebasan lahannya, ditemukan adanya indikasi dugaan salah bayar senilai Rp 3,48 miliar.

Pada tahap penyelidikan, beberapa pihak terkait dalam proyek tersebut diperiksa secara maraton. Diantaranya Camat Biringkanaya, Andi Syahrum Makkuradde dan mantan Kasubag Pertanahan Pemkot Makassar, Ahmad Rifai.

Tepat November 2017, status kasus pembangunan underpass simpang lima Bandara pun resmi ditingkatkan oleh Kejati Sulsel dari tahap penyelidikan ke tahap penyidikan karena pertimbangan alat bukti adanya unsur perbuatan melawan hukum didalamnya dianggap telah terpenuhi. Sejumlah pihak lain yang terkait pun turut diperiksa kembali secara maraton oleh tim penyidik Kejati Sulsel.

Diantaranya Camat Tamalanrea, Kaharuddin Bakti, Kepala Kelurahan Sudiang, Udin dan Asisten 1 Pemkot Makassar yang bertindak selaku Ketua Tim Pengadaan Lahan, M. Sabri juga diperiksa sebagai saksi pada bulan Desember 2017 lalu. Kemudian berlanjut memeriksa mantan Kepala Badan Pertanahan (BPN) Kota Makassar, Iljas Tedjo Prijono pada tanggal 8 Januari 2018.

Tak hanya itu, tim penyidik Kejati Sulsel juga telah memeriksa sejumlah orang yang tergabung dalam tim panitia pengadaan lahan lainnya yang diduga mengetahui dan terlibat dalam proyek merugikan negara tersebut.

Mereka adalah dua staf Kesbangpol Kota Makassar yakni A. Rifai dan Hasan Sulaiman yang masing-masing bertugas sebagai mantan Sekretaris Panitia Pengadaan Lahan dan staf panitia pembebasan lahan. Keduanya diperiksa pada tanggal 29 Januari 2018 lalu.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya