RI Perlu 600 Ribu Tenaga Kerja Melek Digital per Tahun

Pemerintah juga perlu menjadi fasilitator bagi startup untuk berdiri sendiri sehingga menjadi unicorn.

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Mar 2019, 16:30 WIB
Menkominfo Rudiantara (tengah), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso (kanan) dan Kepala BKPM Thomas Lembong dalam diskusi Forum Merdeka Barat (FMB) 9 bertajuk 'Investasi Unicorn untuk Siapa?' di Jakarta, Selasa (26/2). (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Solo - Perkembangan financial technology (fintech) semakin pesat di Indonesia. Pendirian startup fintech tidak luput dari perizinan pemerintah, khususnya OJK sebagai regulator di sektor jasa keuangan. 

Menteri Komunikasi dan Informatika RI, Rudiantara  menyatakan, selain memberikan izin, pemerintah seharusnya bisa menjadi fasilitator bagi startup untuk bisa berdiri sempurna.

"Banyak startup, tapi mereka kurang kenal calon investor di dalam negeri, apalagi yang global. Investor juga tidak tahu start-up mana yang bagus. Jadi pemerintah ini mencomblangi," ungkap Rudiantara dalam Seminar Nasional Kolaborasi Milenial dan Fintech Menyongsong Revolusi Industri 4.0.

Selain menjadi fasilitator antara investor dengan startup, tidak kalah penting juga bagi pemerintah untuk mendukung penyediaan digital talent yang selaras dengan perkembangan industri 4.0 ini.

Digital talent adalah sumber daya manusia yang kompeten terutama dalam bidang digital, termasuk fintech. Mereka diproyeksikan memahami Artificial Intelligence (AI), robotik dan teknologi lainnya kemudian mengimplementasikannya dalam ranah bisnis. Dalam kurun waktu 5-10 tahun, Indonesia harus bisa memiliki digital talent dalam jumlah besar.

Rudiantara juga menyatakan,  pemenuhan digital talent ini akan mendukung start-up menjadi unicorn. Setidaknya dibutuhkan 600 ribu digital talent per tahun untuk bisa membantu start-up menjadi unicorn.

"Kita targetkan nanti Unicorn akan bertambah. Sumber daya manusianya juga harus kita bina supaya bisa jelas ke depannya akan disalurkan kemana," ia menambahkan.

 

 


OJK dan Kemkominfo Gencar Menyisir Fintech Ilegal

Ketua OJK Wimboh Santoso hadiri seminar nasional bertajuk Fintech Goes To Campus pada Sabtu (9/3/2019) (Foto: Liputan6.com/Athika R)

Sebelumnya, untuk membangun perlindungan bagi pengguna fintech P2P lending, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus meminta agar masyarakat hanya bertransaksi melalui fintech P2P lending yang terdaftar dan berizin OJK.

Dilaporkan jumlah fintech ilegal yang terdeteksi Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Juli hingga Desember 2018 mencapai 635 entitas.

Sementara dari bulan Januari hingga Februari 2019 ada 168 entitas terdeteksi. Hal itu berarti sejak Juli 2018 lalu, total entitas fintech ilegal yang sudah ditemukan dan diajukan penutupannya ke Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) sudah mencapai 803 entitas. Sementara untuk fintech ilegal yang sudah diblok mencapai kurang lebih 600 entitas.

"Saat ini sudah 600 lebih yang diblok, ada 800an yang masih proses mau ditutup oleh Kominfo," ungkap Wimboh Santoso, Ketua Dewan Komisioner OJK di Solo, Sabtu 9 Maret 2019.

Untuk koordinasi antara OJK dengan Kemkominfo mengalami perubahan. Jika tadinya harus ada laporan fintech ilegal untuk bisa diproses dan ditutup, maka sekarang Kemkominfo yang proaktif menyisir fintech ilegal dari awal.

"Kalau dulu, ada laporan nanti ke Satgas, lapor Kominfo nanti diblok. Sekarang dibalik, Kominfo setiap hari proaktif melakukan penyisiran, nanti dibandingkan dengan daftar dari OJK. Begitu daftarnya beda, yang beda langsung kami tutup," imbuh Rudiantara, Menteri Kementerian Kominfo.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya