Mahathir Mohamad: Bukan Anti-Singapura, Saya Pro-Malaysia

Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, angkat bicara soal hubungan Negeri Jiran dengan negara tetangga terdekatnya, Singapura.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 09 Mar 2019, 17:47 WIB
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong (kiri) dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad (kanan) bertemu di Putra Jaya (AFP)

Liputan6.com, Kuala Lumpur - Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, angkat bicara soal hubungan Negeri Jiran dengan negara tetangga terdekatnya, Singapura yang dinilai oleh sejumlah kalangan merenggang beberapa waktu terakhir.

"Saya bukan anti-Singapura. Saya mengklaim pro-Malaysia," kata Mahathir dalam sebuah wawancara dengan surat kabar South China Morning Post baru-baru ini, dikutip dari The Bangkok Post, Sabtu (9/3/2019).

Itulah tanggapan Dr. M ketika diminta oleh South China Morning Post untuk mengomentari sentimen publik di Singapura yang menyalahkannya secara pribadi atas penurunan hubungan antara kedua negara.

Ikatan merenggang sejak Mahathir kembali berkuasa Mei lalu. Berbeda sekali dengan kehangatan yang dirasakan Singapura dari Malaysia selama era mantan perdana menteri Najib Razak yang sekarang terjerat kasus korupsi, kedua tetangga dalam beberapa bulan terakhir bertengkar karena berbagai masalah.

Ketegangan antara dua negara yang terpisahkan Selat Tebrau (Johor) telah menyalakan kembali ingatan akan tugas pertama Mahathir sebagai perdana menteri dari 1981 hingga 2003.

Dalam wawancara eksklusif dengan South China Morning Post, Mahathir memperbesar satu masalah bilateral yang telah dia keluhkan selama bertahun-tahun -- harga yang dibayar Singapura kepada negaranya untuk air bersih.

Dia kukuh pada pendiriannya bahwa republik mengambil untung dengan tidak mengalah pada harga 3 sen Malaysia per 1.000 galon air, ditetapkan pada 1960-an.

Mahathir Mohamad mengklaim harga itu ditetapkan pada 1920-an sebagai bagian dari pakta antara mantan administrator kolonial dan negara bagian Johor di Malaysia bagian selatan yang memasok air.

Singapura membantah hal ini, mengklaim pulau itu menerima air selama era kolonial secara gratis, terlepas dari biaya menyewa bangunan air dan daerah tangkapan air.

Ia juga mengatakan harga tidak dapat dinegosiasikan ulang karena Malaysia telah kehilangan hak untuk melakukannya pada tanda 25 tahun perjanjian pada 1987.

Tinjauan harga diperdebatkan selama pembicaraan bilateral yang diadakan antara tahun 1998 hingga 2003, tetapi itu tidak menghasilkan harga baru.

Dalam wawancara hari Kamis dengan South China Morning Post, Mahathir berpegang pada pandangannya tentang masalah tersebut.

"Saya harus melihat kepentingan Malaysia. Dapatkah Anda menemukan negara yang menjual 1.000 galon air dengan harga 3 sen Malaysia ... harga yang ditetapkan pada tahun 1926? Apa yang dijual dengan harga 3 sen pada tahun 1926 yang dijual dengan harga 3 sen sekarang?" katanya.

Dia membantah pandangan Singapura bahwa dia melewatkan kesempatan untuk meninjau kembali kesepakatan itu.

"Kami berhak untuk menegosiasikan ulang harga setelah 25 tahun ... tetapi yang dikatakan Singapura adalah karena 25 tahun telah berlalu, oleh karena itu Anda kehilangan hak untuk bernegosiasi. Bagaimana itu bisa terjadi? Dikatakan setelah 25 tahun, bukan pada 25 tahun Anda harus bernegosiasi."

Mahathir, yang pernah berdebat dengan mantan perdana menteri Singapura Goh Chok Tong atas masalah ini di tahun 2000-an, menunjukkan bahwa negara-negara bagian Malaysia lainnya membayar lebih banyak ke Johor untuk pasokan air daripada Singapura.

"Apa yang kami katakan adalah, sangat konyol bahwa negara bagian Johor menjual air ke negara bagian Malaka dengan harga 50 sen per seribu galon dan menjualnya dengan harga 3 sen ke Singapura."

Dia menambahkan: "Dan kita semua tahu bahwa Singapura adalah negara maju, itu adalah negara yang sangat kaya. Mata uangnya tiga kali lebih tinggi dari mata uang kami ... Namun mereka meminta negara yang lebih miskin untuk menyubsidi ekonomi dan pertumbuhan mereka."

Ditanya apakah kesepakatan air adalah "masalah terbesar" di antara berbagai masalah, Mahathir Mohamad mengatakan itu adalah "masalah yang telah menunjukkan tidak ada kesepakatan yang dicapai antara Singapura dan Malaysia".

"Ada juga masalah lain tentu saja. Tetapi mengatakan bahwa ini tidak biasa atau tidak adil adalah konyol. Tidak ada tempat di dunia di mana air dijual oleh satu entitas ke entitas lain, atau minyak bumi dijual ke negara lain dengan harga yang ditetapkan pada tahun 1926."

 

Simak video pilihan berikut:


Isu Perbatasan

Perdana Menteri Malaysia baru, Mahathir Mohamad memberi keterangan saat konferensi pers di Petaling Jaya, Malaysia (10/8). Di usia 92 tahun, pemimpin koalisi oposisi Pakatan Harapan itu menjadi pemimpin terpilih tertua di dunia. (AP Photo / Sadiq Asyraf)

Para menteri luar negeri kedua negara baru-baru ini menyarankan para pejabat mereka membuat kemajuan dalam pembicaraan mengenai dua masalah lain - mengenai batas-batas laut dan manajemen Singapura atas sebagian ruang udara Malaysia.

Pada Desember 2018, tak lama setelah Mahathir melakukan kunjungan resmi ke Singapura untuk pertama kalinya sejak ia kembali berkuasa, terjadi pertengkaran karena kedua masalah tersebut.

Menteri Luar Negeri Singapura Vivian Balakrishnan pada Kamis 7 Maret mengatakan mungkin ada "beberapa pengumuman bersama" dalam dua minggu ke depan setelah "kemajuan yang wajar" dalam pembicaraan tentang sengketa maritim.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya