Liputan6.com, Tokyo - Ini yang dikatakan petinggi militer Amerika Serikat, Jenderal George C. Marshall pada pertengahan November 1941, tiga pekan sebelum insiden Pearl Harbor yang menyeret AS ke pusaran Perang Dunia II: "Jika perang dengan Jepang sampai terjadi, kita akan bertarung habis-habisan."
"Flying Fortresses segera dikerahkan, untuk membakar kota-kota Jepang yang dibangun dengan kertas. Tak akan ada keraguan untuk membom penduduk sipil -- Bumi hangus."
Baca Juga
Advertisement
Tiga tahun kemudian, prediksi sang jenderal terbukti. Malam itu, 9 Maret 1945, armada 334 pesawat tempur B-29 lepas landas dari pangkalan yang baru didirikan di Mariana Islands. Mereka menuju satu titik: Tokyo.
Seperti dikutip dari situs Airspacemag.com, serangan besar-besaran yang diberi kode Operation Meetinghouse itu menggunakan strategi berbeda. Yakni, dengan mengganti armada jet tempur B-17 dengan B-29.
Armada B-29 terbang di ketinggian 30 ribu kaki (9.144 meter), dalam barisan (single file), bukan formasi. Dan, untuk mengurangi risiko dari penerbang Jepang, serbuan dilakukan pada malam hari, saat langit terang dan berangin.
Pemimpin armada B-29, Jenderal Curtis LeMay, menyingkirkan senjata dan artileri dari dalam pesawat, agar ruang lebih lega dan bisa memuat lebih banyak bom.
"Dengan mengubah taktik dan melipatgandakan jumlah bom per pesawat," tulis sejarawan Thomas Searle, "LeMay menciptakan "kekuatan yang mampu menghela badai api yang sangat besar."
Titik jatuhnya bom juga sudah direncanakan, di wilayah padat penduduk dengan rumah-rumah kayu yang mudah terbakar.
Tujuannya, untuk memaksa Jepang menyerah, sekaligus ajang balas dendam atas apa yang mereka lakukan terhadap Peral Harboe dan penganiayaan terhadap tawanan perang Sekutu.
Sambaran Bola Api Raksasa
Hanya dalam waktu beberapa jam, 1.667 ton atau 500 ribu bom berisi napalm dan petroleum jelly , jatuh ke ibu kota Jepang.
Napalm, zat kimia berbentuk pasta itu langsung terbakar begitu pecah di darat. Bola api raksasa terbentuk, lidahnya menyambar dan menghanguskan apapun yang ia lewati.
Sejarawan John Dower mendeskripsikan apa yang terjadi saat itu dalam bukunya, War Without Mercy. "Panas dari kebakaran berkobar sungguh tak terkira. Di beberapa tempat kanal-kanal mendidih, logam meleleh, bangunan juga manusia luruh di dalam nyala api."
Pada 10 Maret 1941, setengah kota Tokyo luluh lantak. Yang tertinggal hanya abu dan jelaga. Sementara 10 ribu orang meninggal dunia, hanya dalam semalam.
Lebih dari sejuta manusia dipaksa jadi tuna wisma. Mereka yang hidup menderita luka bakar hingga kehilangan anggota tubuh.
Skala kehancuran akibat serangan bumi hangus di Tokyo, seperti dikutip dari Encyclopedia Britannica, disebut sebagai salah satu tindakan perang yang paling merusak dalam sejarah -- lebih merusak daripada pemboman Dresden, bahkan bom atom ke Hiroshima atau Nagasaki, yang juga berada di Jepang.
Simak video pilihan berikut:
Neraka Dunia
Kisako Motoki baru berusia 10 tahun saat ia berlari sekuat tenaga mencari perlindungan ke sebuah jembatan. Ayah, ibu, dan saudara laki-lakinya semua tewas. Api membakar tubuh mereka.
Badai api, yang tingginya mencapai ratusan meter, didorong angin kencang yang bertiup mengubah wilayah seluas 40 kilometer di Tokyo jadi neraka.
"Aku melihat tubuh-tubuh terbakar yang meleleh menumpuk satu sama lain setinggi sebuah rumah," kata Motoki seperti dikutip dari ABC Australia.
"Aku juga melihat serpihan hitam, bagian tubuh manusia berserakan di mana-mana, juga jasad-jasad dalam air. Aku tidak percaya hal seperti ini terjadi."
Jiwa gadis kecil itu tak kuasa menyaksikan pemandangan mengerikan yang terpampang di depan matanya. Motoki terguncang. Pikirannya sontak kosong.
"Sudah 70 tahun berlalu, namun jasad-jasad itu tak beranjak dari benakku," kata Motoki pada 2015 lalu. "Lebih mengerikan dari bayangan neraka."
Kini tak banyak yang mengingat insiden mengerikan itu. Pun dengan AS dan Jepang yang saat ini jadi sekutu dekat.
Namun, bagi salah satu penyintas, Haruyo Nihei, perisiwa itu tak boleh dilupakan. Ia menggelar seminar untuk anak-anak dan mendanai museum yang didedikasikan untuk para korban.
"Ada kemungkinan Jepang akan terlibat dalam perang di masa depan. Saya ingin anak-anak memahami bahwa perang menghancurkan segalanya -- keluarga, bangunan, dan budaya," kata dia.
Nihei juga ingin pemerintah Jepang dan AS mengakui dan meminta maaf atas pemboman bumi hangus atas Tokyo.
Menurut dia, klaim Amerika bahwa pemboman menargetkan pabrik amunisi adalah dusta belaka.
"Tidak ada pabrik militer besar di area yang dibom pada 9 Maret 1945. Mereka melakukannya sebagai hukuman (balas dendam)," kata Nihei. "Menurutku, mereka juga harus bertanggung jawab atas kejahatan perang yang dilakukannya."
Jenderal Angkatan Udara AS Curtis LeMay, orang yang memerintahkan serangan di seluruh Jepang, pernah mengatakan bahwa militer AS, "menghanguskan, merebus, memanggang lebih banyak orang hingga tewas di Tokyo pada malam itu ... daripada gabungan Hiroshima dan Nagasaki."
Sang jenderal juga mengakui, seandainya ia berada di pihak yang kalah, dia pasti akan didakwa dengan kejahatan perang.
Dan buktinya nyata ada. Di dalam ruang penyimpanan yang di dalam tanah, di bawah sebuah tugu peringatan di pusat Tokyo, tempat guci besar berisi abu lebih dari 100.000 warga sipil berada.
Sebagian besar dari korban tidak teridentifikasi. Namun, sebagian besar adalah perempuan, anak-anak dan orang tua. Kala itu, para pria berada di garis depan, sebagai serdadu.
Tak hanya itu peristiwa bersejarah pada 10 Maret. Pada 1876, Alexander Graham Bell melakukan panggilan telepon pertamanya. Sebuah upaya yang berhasil.
Panggilan telepon perdana itu ditujukan pada Thomas Watson. Ini yang ia ucapkan. "Watson, come here. I need you."
Advertisement