Perlu Ada Edukasi Kuat soal Fintech Pinjaman Online

Perkembangan financial technology (fintech) yang pesat telah mengubah pola konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia.

oleh Athika Rahma diperbarui 09 Mar 2019, 20:30 WIB
Sebuah iklan saat event penyelenggaraan Finspire di Jakarta, Rabu (9/11). Finspire ini diselenggarakan dalam 2 aktivitas yaitu Finspire frontrunner dan Finspire summit yang diikuti oleh 32 startup di bidang fintech. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Solo - Perkembangan financial technology (fintech) yang pesat telah mengubah pola konsumsi sebagian besar masyarakat Indonesia.

Mulai dari pembayaran melalui uang elektronik hingga meminjam dana lewat pinjaman online (P2P lending). Salah satu fintech yang populer yaitu Fintech P2P lending karena memberikan kemudahan dalam peminjaman.

Meski begitu, pemanfaatan P2P lending kadang tidak menuju ke arah yang baik. Dosen Manajemen Universitas Sebelas Maret yang pernah mendapat penghargaan HSBC Indonesia Research Award (HIRA) 2017, Irwan Trinugroho mengatakan, platform pinjaman online berpotensi memarjinalkan orang-orang yang sudah termarjinalkan jika pemakaiannya disalahgunakan.

Orang yang tidak mampu semakin terjepit karena tagihan utang online mereka membengkak.

"Dari yang sudah-sudah, banyak orang yang terjebak di sistem pinjaman online. Orang pinjam uang untuk bayar utang yang lain, pinjam lagi untuk utang, begitu seterusnya," ungkap Irwan di Solo, Sabtu (9/3/2019).

Hal ini perlu diantisipasi dengan ada edukasi yang kuat pada masyarakat khususnya generasi milenial mengenai P2P lending; apa saja aturannya, kriteria P2P lending yang aman, kemampuan membayar hingga besaran pinjaman. 

Kampus dapat menjadi jembatan bagi fintech P2P lending memperkenalkan diri pada generasi milenial.

Mendukung hal ini, Universitas Negeri Sebelas Maret menjalin kerjasama dengan OJK, Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) untuk menyiapkan generasi milenial yang melek fintech. Kolaborasi akan berupa magang, pelatihan hingga workshop tentang fintech.

 


Anggota Asosiasi Harus Taat Aturan

Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Sebelumnya, marak bisnis peminjaman online berbasis teknologi (fintech P2P lending) diikuti dengan ada sejumlah oknum yang hanya ingin mengambil keuntungan dari kecenderungan orang memanfaatkan pinjaman online.

Hal ini membuat Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) menegaskan aturan yang harus ditaati fintech P2P lending dalam pengoperasiannya.

Adrian A. Gunadi, Ketua AFP sekaligus CEO Investree mengatakan, fintech P2P lending harus terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk beroperasi. Sebelum bisa terdaftar, entitas harus menjadi anggota AFPI dan mentaati Code of Conduct.

"Saat ini ada 99 pelaku bisnis lending yang sudah terdaftar di OJK, otomatis mereka sudah ikuti Code of Conduct," ungkap Adrian di Solo, Sabtu 9 Maret 2019.

Code of Conduct untuk fintech P2P lending mencakup implementasi transparansi produk dan metode penawaran produk pelayanan, pencegahan pinjaman berlebih dan praktik yang manusiawi. 

Dia mengatakan, sebagai asosiasi yang ditunjuk oleh OJK secara resmi untuk menjalankan fungsi pengawasan dan pengaturan kepada anggotanya, AFPI mendukung penuh start-up baru yang fokusnya di P2P lending untuk mentaati aturan baik dari AFPI maupun OJK.

"Ini upaya agar tidak ada kejadian tidak mengenakan seperti penipuan, bunuh diri korban. Kalau fintechnya resmi dan taat aturan, konsumen akan percaya dan merasa aman," ujar Adrianh.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya