Perjuangan Petani Cilacap Peroleh Tanah yang Dijanjikan

Saat ini hanya tiga yang mengajukan IPHPS. Tiga wilayah itu yakni, Mentasan dan Sarwadadi Kecamatan Kawunganten serta Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 12 Mar 2019, 18:00 WIB
Seorang warga menunjukkan makam di tengah perkebunan pinus milik Perhutani yang menunjukkan bahwa pada masa lalu kawasan ini adalah perdesaan, di Cipari Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Cilacap teridentifikasi sebagai salah satu wilayah dengan jumlah konflik agraria atau sengketa agraria terbanyak di Jawa Tengah. Berdasar catatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Serikat Tani Mandiri (Setam) Cilacap, luasan tanah yang disengketakan mencapai kisaran 12 ribu hektare.

Ditarik ke belakang, sengketa tanah itu bermula pada masa nasionalisasi aset pemberontakan DI/TII dan paska-tragedi 1965. Tak aneh jika di kabupaten ini ada beberapa desa hasil bedol desa dengan alasan pengamanan.

Ketua LSM Setam, Petrus Sugeng mencontohkan Desa Grugu, Kecamatan Kawunganten. Grugu yang dikenal saat ini adalah hasil bedol desa dari Grugu Lama yang terletak di pegunungan.

Paskatragedi 1965, warga dipaksa pindah demi alasan keamanan. Mereka dipindah ke satu wilayah baru dengan janji kepemilikan lahan alias tukar guling.

Tetapi, ternyata lahan yang ditunggu itu tak pernah terealisasi. Tanah yang dimiliki warga sekarang bukan lah tanah yang dijanjikan. Sementara, tanah yang mereka tinggalkan sudah disegel atas nama Perhutani.

“Mereka dipindah, tapi tanah pengganti atau gulingannya tidak pernah dikasihkan,” katanya, Sabtu.

Kabar baik menghampiri petani Cilacap yang sedang berkonflik agraria. Pemerintah meluncurkan program reforma agraria berupa Perhutanan Sosial (PS) atau program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).

Penggarap dan Perhutani akan melakukan kerjasama pemanfaatan kawasan hutan dengan sistem bagi hasil yang diatur dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 dan Permen LHK Nomor 39 Tahun 2017 Tentang IPHPS. Program ini merupakan jalan tengah jika redistribusi tanah tak bisa dilakukan untuk menyelesaikan konflik agraria.

Saksikan video pilihan berikut ini:


Komitmen Pemda Cilacap Selesaikan Konflik Agraria

Pegiat reforma agraria, Petrus Sugeng, yang juga Ketua LSM Serikat Tanah Mandiri (Setam) Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tetapi, dua taun berlalu, program itu urung terlaksana di Cilacap. Sugeng menilai, pangkal soalnya adalah rendahnya kemauan pemerintah daerah untuk menyelesaikan konflik agraria.

Menurut Sugeng, rendahnya komitmen Pemda untuk menyelesaikan sengketa agraria itu bisa dilihat dari minimnya sosialisasi program perhutanan sosial di kawasan hutan yang berpotensi menjadi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).

Instansi terkait, seperti BPN, Dinas Pertanahan dan Permukiman maupun lembaga lainnya terlihat enggan mensosialisasikan program yang sebetulnya diluncurkan untuk kesejahteraan masyarakat ini.

“Program itu tidak tersosialisasikan kepada warga masyarakat kepada masyarakat sekitar hutan secara utuh oleh instansi terkait. Kedua, kelihatannya, LMDH itu dari awal kelihatannya memang tidak sependapatan dengan adanya program perhutanan sosial,” ucap Sugeng.

Bukti lainnya adalah hingga saat ini, Pemda Cilacap belum membentuk tim gugus tugas reforma agraria meski Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional telah mengeluarkan surat keputusan (SK) bernomor 79/SK-LR.07/I/2019 tentang Pembentukan Tim Reforma Agraria di Tingkat Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.

“Baru rencana, Tapi sampai sekarang belum terealisasi,” ujar Sugeng.

Menurut dia, di Cilacap banyak kawasan yang hutan yang layak dijadikan TORA. Tetapi, saat ini hanya tiga yang mengajukan IPHPS. Tiga wilayah itu yakni, Mentasan dan Sarwadadi Kecamatan Kawunganten serta Gintungreja Kecamatan Gandrungmangu.

Di tiga wilayah itu, warga masing-masing desa mengajukan IPHPS dengan luasan total mencapai 1.500 hektare untuk sekitar 2.500 pemohon.


Cilacap Jadi Pilot Project Reforma Agraria

Peta tanah seluas 486 hektare di desa Sarwadadi yang diajukan sebagai TORA dalam program perhutanan sosial. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sugeng menambahkan, Cilacap pada 2019 ini menjadi pilot project atau proyek percontohan reforma agraria melalui program perhutanan sosial Provinsi Jawa Tengah. Akan tetapi, ia melihat Pemerintah Daerah Cilacap belum melakukan langkah-langkah signifikan untuk menjalankan program ini.

“Ya kami menunggu langkah konkret Pemda untuk menyelesaikan konflik agraria,” dia menegaskan.

Anggota Komisi A DPRD Cilacap, Romelan membenarkan Cilacap bakal menjadi daerah percontohan reforma agraria di Jawa Tengah. Bahkan di Jawa Tengah, Cilacap menjadi satu-satunya kabupaten atau kota yang akan digulirkan reforma agraria melalui skema IPHPS.

Romelan mengatakan kepastian itu diperoleh saat koordinasi antara DPRD Cilacap dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah Jawa Tengah dan Pemprov Jawa Tengah, Februari 2019 lalu.

“Kaitannya dengan tanah obyek reforma agraria atau TORA, kemarin Kabid di BPN menyampaikan langsung kepada kami. Bahwa Cilacap adalah satu-satunya kabupaten yang akan menjadi pilot project untuk program reforma agraria,” ucap Romelan.

Masyarakat Cilacap dinilai aktif dalam mengupayakan penyelesaian sengketa lahan atau konflik agraria. Sebab itu, Cilacap dinilai siap untuk menjalankan program IPHPS.

Keputusan untuk menjadikan Cilacap sebagai percontohan reforma agraria ini membuat Gubernur Jawa Tengah bersiap untuk mereposisi Pergub soal reforma agraria. Kedua, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan BPN juga bersiap mengalokasikan anggaran untuk reforma agraria.

Menurut dia, reforma agraria yang bakal dilaksanakan di Cilacap bukan lah redistribusi kepemilikan tanah. Skema yang bakal dilakukan adalah melalui program Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS).

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya