Liputan6.com, Washington DC - Para dokter menyerukan upaya internasional yang mendesak untuk memerangi "pandemi obat-obatan buruk", yang diperkirakan telah membunuh ratusan ribu orang secara global setiap tahun.
Lonjakan obat-obatan palsu dan berkualitas buruk berarti bahwa 250.000 anak per tahun diperkirakan meninggal setelah menerima dan mengonsumsinya, yang hanya dimaksudkan untuk mengobati malaria dan pneumonia saja, para dokter memperingatkan.
Adapun anak-anak yang meninggal, sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (12/3/2019), lebih banyak disebabkan karena vaksin dan antibiotik palsu yang digunakan untuk mengobati atau mencegah infeksi akut dan penyakit seperti hepatitis, demam kuning, dan meningitis.
Baca Juga
Advertisement
Sebagian besar kematian terjadi di negara-negara di mana permintaan obat yang tinggi dikombinasikan dengan pengawasan yang buruk, kontrol kualitas dan peraturan untuk memudahkan geng dan kartel kriminal menyusup ke pasar.
"Seringkali mereka hanya menghadapi denda atau hukuman ringan jika tertangkap," kata Joel Breman, seorang ilmuwan emeritus di Institut Kesehatan Nasional AS.
Tes pada obat-obatan di lapangan telah mengidentifikasi salinan palsu dan tidak efektif dari sejumlah besar obat-obatan, termasuk antimalaria, antibiotik, serta obat-obatan kardiovaskular dan kanker.
Banyak pemalsuan berasal dari China dan India, di mana kerap ditemukan mengandung segalanya, mulai dari tinta printer dan cat hingga arsenik.
"Obat-obatan gaya hidup, seperti obat pembangkit syahwat, mendominasi pasar untuk obat-obatan palsu," ujar Breman.
Di luar pemalsuan yang dibuat dan dijual oleh geng kriminal adalah obat-obatan berkualitas buruk dengan bahan aktif yang tidak cukup untuk bekerja dengan baik, atau gagal larut ketika diminum.
Simak video pilihan berikut:
Cenderung Terjadi di Negara-Negara Berpenghasilan Rendah
Di American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, dokter dari pemerintah AS, universitas, rumah sakit dan perusahaan farmasi Pfizer memperingatkan bahwa kenaikan "obat-obatan yang dipalsukan dan di bawah standar" telah menjadi "darurat kesehatan masyarakat".
Di atas kerugian langsung yang mereka sebabkan, obat-obatan yang buruk adalah pendorong utama resistensi antimikroba, yang memicu munculnya superbug. "Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang mendesak dan kami perlu mengambil tindakan," kata Breman.
Hingga 10 persen dari obat-obatan di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah adalah kualitas yang buruk atau palsu.
Dalam serangkaian rekomendasi, para dokter menyerukan dukungan yang lebih besar untuk program pengawasan obat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan pembaruan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan PBB, di mana pemerintah akan memastikan setidaknya 90 persen dari obat-obatan di negara mereka berkualitas bagus.
Registrasi obat palsu yang ditemukan di lapangan juga harus dibuat terbuka untuk umum, kata para dokter.
Rekomendasi lain adalah untuk perjanjian global tentang kualitas obat, dan menetapkan perjanjian ekstradisi sehingga tersangka dapat menghadapi persidangan di negara yang mereka targetkan.
Perjanjian semacam itu akan mencakup apotek daring ilegal, yang menurut dokter merupakan bagian dari masalah yang semakin meningkat.
Breman mengatakan komunitas internasional dan perusahaan farmasi harus meningkatkan keamanan rantai pasokan obat di semua negara dari titik produksi hingga pasien.
"Ada kebutuhan mendesak untuk tes sederhana dan cepat yang dapat digunakan dokter untuk memverifikasi kualitas obat," tambahnya.
Advertisement