Liputan6.com, Jakarta - Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Brodjonegoro mengatakan, untuk bisa menjadikan ekspor sebagai sumber pertumbuhan ekonomi RI ada beberapa hal yang harus dilakukan.
Salah satunya adalah mendorong diversifikasi produk industri untuk mengisi pasar ekspor.
"Diversifikasi dari produk ekspor itu penting selain diversifikasi negara tujuan," kata Bambang saat ditemui di Jakarta, seperti ditulis Rabu (13/3/2019).
Baca Juga
Advertisement
Bambang menuturkan, untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekspor pemerintah juga tidak bisa hanya mengandalkan eskpor dari sumber daya alam (SDA) yang selama ini mendominasi, seperti batu bara dan kelapa sawit. Namun, perlu juga menggenjot komponen lain seperti industri manufaktur.
"Meski pun tetap harus kita dorong ekspornya (batu bara dan kelapa sawit) sudah saatnya kita melakukan diversifikasi dengan ekspor dari produk manufaktur," kata dia.
Menurut Bambang, ekspor produk manufaktur memiliki nilai tambah dan daya saing yang tinggi. Kemudian juga jelas produk manufaktur secara kompleksitas dapat berkelanjutan dan bisa bertahan dalam waktu yang lama.
"Itu yang kemudian satu persatu kita harus dorong ekspor manufaktur yang memenuhi syarat tersebut," pungkasnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Perang Dagang AS-China Tekan Ekspor Indonesia
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution menyatakan, dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China 'memukul' pertumbuhan komponen ekspor di Indonesia.
Apalagi kedua negara tersebut merupakan tujuan ekspor terbedar RI selama ini. "Kalau diperhatikan ekspor kita kalau di urut negara tujuan utamanya adalah pertama Tiongkok China, Kedua Amerika Serikat. Perang dagang itu ternyata memukul betul kepada kita. Kedua negara yang perang itu, kita tidak ikut perang tapi kena imbas," kata Menko Darmin saat menjadi pembicara di Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan, di Jakarta, Selasa 12 Maret 2019.
Darmin mengungkapkan, pertumbuhan ekspor Indonesia ke China pada 2018 hanya sebesar 17,7 persen.
Padahal pada tahun sebelumnya pertumbuhan ekpsor ke Negeri Tirai Bambu tersebut telah mencapai sebesar 45 persen. Angka ini menurun cukup siginifikan.
Kemudian pertumbuhan ekspor ke Amerika Serikat sendiri berada di posisi 3,6 persen pada 2018. Angka ini juga merosot bila dibandingkan posisi ekspor pada 2017 sebesar 10,9 persen.
"Lebih jelek lagi India. Ini urusan kelapa sawit. Minus 2,5 persen. Pada 2017 praktis sama dengan China sekitar 4 persen. Memang saya ingat kalau tidak ada di sini ke Jepang masih positif. Sebagai akibat ekspor 2018 melambatnya cukup signifikan," kata dia.
Seperti diketahui, perang dagang antara kedua negara tersebut bermula pada saat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump pada awal 2018 lalu telah menetapkan tarif sekitar USD 60 miliar atau sekitar Rp 827,34 triliun atas produk China masuk ke negeri Paman Sam. Kebijakan Trump tersebut memicu perang dagang.
Sebab, tak berselang lama, keputusan tersebut langsung mendapat respons dari China. China mengumumkan daftar 106 produk asal Amerika Serikat (AS) yang dinaikkan tarif impornya. Kementerian Perdagangan China mengatakan, tarif itu dirancang untuk mengenakan tarif produk AS hingga USD 50 miliar setiap tahun.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement