Tentang Pondok Tempat Warga Ponorogo Mengaji Tanda Kiamat

Polisi dan tokoh agama menegaskan tak ada sekte sesat seperti informasi yang beredar di media sosial.

oleh Zainul Arifin diperbarui 15 Mar 2019, 12:00 WIB
Pertemuan mengklarifikasi isu kiamat melibatkan kepolisian, tokoh agama dengan pengasuh Ponpes Miftahul Falahil Mubtadin di Kasembon, Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Malang - Polisi sampai tokoh agama sudah datang ke Pondok Pesantren (Ponpes) Miftahul Falahil Mubtadin di Kasembon, Malang, Jawa Timur. Ini adalah pondok para warga Ponorogo yang "hijrah" dengan bumbu informasi berlindung dari kiamat yang segera datang.

Di ponpes asuhan Muhammad Romli atau Gus Romli itu, banyak juga jemaah dari berbagai daerah, seperti dari Jember, Banyuwangi, Lampung dan lainnya. Hasil klarifikasi, tidak ada ajaran menyimpang, apalagi sekte sesat tentang kiamat.

Kepala Polres Kota Batu, AKBP Budi Hermanto, mengatakan total warga Ponorogo yang ada di dalam ponpes itu ada 59 orang dari 24 kepala keluarga berbeda. Di antara rombongan terdapat belasan anak–anak serta orang tua mereka.

“Mereka ikhlas, tak ada paksaan untuk tinggal di pondok ini. Mereka murni belajar Islam, tidak ada soal isu kiamat,” kata Budi di Kota Batu, Kamis, 14 Maret 2019.

Kepolisian sudah mendengar adanya pengajian tentang kiamat itu sejak 3 Maret silam. Lima hari kemudian, para tokoh agama dan pemerintahan setempat menggelar pertemuan dengan pengasuh pondok. Saat itulah bisa dipastikan kelompok sesat adalah kabar bohong.

“Informasi aliran menyimpang itu tidak benar. Pengasuh pesantren sudah mengklarifikasi langsung,” ujar Budi.

Kepolisian tetap berkoordinasi dengan tokoh agama mendalami ajaran dari pesantren tersebut, serta mendalami lebih detil dari mana saja jemaah pesantren yang berlokasi hampir dua jam perjalanan ditempuh dari Kota Malang itu.

“Pesantren ini mulai berkembang beberapa tahun terakhir. Jemaah dari luar ada juga dari Jember, Banyuwangi, Demak, sampai Lampung,” urai Budi.

Kepolisian juga melacak siapa sosok yang pertama menyebar kabar bohong isu aliran kiamat di pesantren ini. Warga sekitar diimbau tak perlu resah, serta tetap selalu berkoordinasi dengan polisi dan tokoh agama setempat.


Ceramah Pengajian

Kapolres Kota Batu, AKBP Budi Hermanto dengan salah seorang jamaah pengajian di Ponpes Miftahul Falahil Mubtadin di Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan kajian di Ponpes Miftahul Falahil Mubtadin, Kasembon, Malang, tak keluar dari koridor Islam. Materi pengajiannya lebih ke adanya meteor dan tanda–tanda lainnya tentang hari kiamat.

Pesantren ini tidak salah, boleh melanjutkan kajian tanda–tanda kiamat dengan hadis yang jadi rujukannya. Meski begitu, Gus Romli, pengasuh pesantren ini, diminta lebih berhati-hati saat menyampaikan pengajian serta tidak menyampaikan materi itu dalam pengajian terbuka.

“Kajian datangnya meteor sebagai tanda kiamat itu cukup disampaikan ke jemaahnya saja. Sebenarnya kesahihan hadisnya masih harus diuji,” kata Ibnu Mukti, MUI Perwakilan Kasembon.

Gus Romli diminta lebih teliti menyampaikan ilmunya serta menghindari potensi menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Jika sampai ada keresahan, menurut Ibnu Mukti, MUI punya kewajiban untuk menegur.

Khoirul Huda, Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kasembon, Malang, mengatakan ponpes tak melanggar ajaran Islam serta masih sesuai Ahlussunah wal Jama’ah. Pengasuh ponpes membantah terkait ISIS, hukum potong tangan, sampai sebut pemerintah hari ini kafir.

“Klarifikasi Gus Romli itu kami terima apa adanya. Tapi kalau sampai nanti ada bukti lain ya serahkan saja ke pihak berwenang,” kata Huda.

Camat Kasembon, Malang, Hendra Trijahjono, meminta ponpes lebih proaktif dengan pemerintahan setempat. Itu lebih menyangkut administrasi kependudukan para santri maupun jemaah dari luar daerah yang tinggal di dalam.

“Kami meminta data berapa jumlah santri maupun jemaah dari luar. Kalau yang tinggal lama, harus melampirkan surat pindah domisili,” kata Hendra.

Apalagi pelaksanaan pemilihan presiden 2019 sudah tinggal menghitung hari. Hal ini agar jemaah luar yang saat pemilihan nanti masih berada di dalam ponpes juga bisa menyalurkan hak pilihnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya