Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat upah nominal buruh/pekerja pada Februari 2019 naik sebesar 0,33 persen dibanding upah buruh tani Januari 2019. Angka tersebut naik yaitu dari posisi Rp 53.604 menjadi Rp 53.781 per hari.
"Upah nominal buruh adalah rata-rata upah harian yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan yang telah dilakukan," ujar Kepala BPS Suhariyanto di Kantornya, Jakarta, Jumat (15/3/2019).
Advertisement
Sementara itu, upah rill yang menggambarkan daya beli buruh juga mengalami kenaikan sebesar 0,62 persen dibanding bulan sebelumnya. Kenaikan tercatat dari posisi Rp 38.384 menjadi Rp 38.622.
Selanjutnya, upah nominal harian buruh bangunan (tukang bukan mandor) pada Februari 2019 naik 0,21 persen dibanding upah Januari 2019, yaitu dan Rp 88.442,00 menjadi Rp 88.628,00 per hari.
"Upah riil buruh bangunan turut mengalami kenaikan sebesar 0,29 persen. Yaitu dari Rp 65.113 menjadi Rp 65.302," jelas dia.
Reporter: Anggun P Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Pengusaha Sayangkan Banyak yang Salah Kaprah Tentang Pekerja Alih Daya
Banyaknya perusahaan yang merekrut pekerja melalui perusahaan penyedia jasa alih daya (outsourcing) menjadi momok bagi buruh maupun calon pekerja di Indonesia. Apalagi sejak pemberlakuan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 tentang sistem kerja ini.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harijanto menyatakan masih banyak di antara calon pekerja belum paham yang dimaksud pekerja outsourcing sehingga prespektif masyarakat mengenai pekerja alih daya menjadi negatif.
"Sebetulnya masalah ini dibutuhkan dan harus diperbaiki dan dibenarkan, diluruskan pengertiannya. Jadi masalah outsourcing ini karena sejak dari awal kita sudah kalah kaprah," kata dia Jakarta, Rabu (13/3/2019).
Dia mengatakan selama ini outsourcing dianggap seolah-olah hanya sebagai tenaga kerja murah. "Memang asal muasal outsourcing ini adalah sebetulnya inisiatif yang salah. Jadi upah yang terlalu mahal disiasati dengan menyuplai tenaga kerja murah," imbuh dia.
Kemudian, sebagian juga memandang apabila kontrak kerja yang ditawarkan sebuah perusahaan itu habis, maka dikembalikan lagi kepada perusahaan outsourcing itu tanpa diberikan fasilitas jaminan sosial atau uang pesangon.
"Maka konotasinya outsourcing itu adalah suatu yang dimanfaatkan oleh pengusaha. Jadi ini sangat negatif sekali sebetulnya itu yang harus kita benarkan sekarang," kata dia.
Padahal, menurut dia, apabila pengertian outsourcing secara benar maka ini membuka akan memberi kesempatan dan ruang yang besar untuk ketenagakerjaan. Hal ini juga akan membuat dunia usaha agar bisa menjadi lebih kompetitif lagi.
"Kita ini mempersulit diri kita sendiri. Outsourcing itu sebetulnya kalau dibenarkan pengertiannya membuka ruang yang besar untuk ketenagakerjaan," pungkasnya.
Reporter; Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement