Liputan6.com, Aceh - Sebelum industri farmasi ada, dahulu kala orang-orang Nusantara sudah memanfaatkan bahan-bahan yang tersedia di alam sebagai obat. Obat yang bahannya diambil dari alam, lazimnya tumbuh-tumbuhan, disebut obat tradisional.
Kendati bukan menjadi pilihan utama, tidak sedikit percaya obat tradisional lebih mujarab daripada obat pabrikan. Namun, dikotomi alamiah dan ilmiah tidak menegasi fakta kedua jenis obat sama-sama menyembuhkan.
Advertisement
Dikotomi alamiah-ilmiah melahirkan diskursus bahwa pengguna kedua jenis obat tergantung kelas sosial. Obat tradisional dianggap menjadi pilihan saat si sakit tidak punya biaya untuk mencecap obat pabrikan.
Terlepas daripada itu, obat tradisional dan penggunaannya masih eksis hingga saat ini. Bahkan, di era serba canggih yang dikenal dengan sebutan Industri 4.0 atau industri generasi keempat.
Penggunaan obat tradisional biasanya secara turun temurun atau digunakan oleh komunitas masyarakat tertentu. Tidak sedikit ditemukan literasi modern mengulas ramuan obat tradisional.
Petunjuk praktis memanfaatkan bahan-bahan alami sebagai obat tradisional juga dapat ditelusuri dalam manuskrip kuno peninggalan para ulama Aceh terdahulu. Salah satunya Kitaburrahmah Fitthibbu Walhikmah terjemaahan Teungku Chik Kuta Karang, seorang astrolog, dan ahli pengobatan pada pertengahan abad 19.
Ulama bernama asli Syeikh Abbas bin Muhammad al-Asyi menerjemaahkan kitab setebal 226 halaman tersebut selama kurun waktu 1266-1270 hijriah, tepatnya 20 tahun sebelum Belanda menginvasi Aceh.
Salah satu yang dijelaskan dalam Kitaburrahmah Fitthibbu Walhikmah adalah bagaimana memanfaatkan tumbuhan merambat seperti pare atau peria untuk mengobati penyakit kulit. Tanaman bernama latin Momordica charantia dipercaya bisa mengobati gatal-gatal.
"Daun peria hutan dapat diolah sebagai obat penyakit gatal-gatal. Di dalam Kitaburrahmah, caranya pipis atau giling daun peria dengan cuka enau atau cuka aren. Lalu, gosok pada bagian yang gatal. Lakukan beberapa kali," kata T.A. Sakti, budaya dan sejarawan Aceh, kepada Liputan6.com, Kamis malam (14/3/2019).
Tidak hanya Kitaburrahmah Fitthibbu Walhikmah, pembahasan tertua obat tradisional pernah ditulis Syekh Abdussalam pada tahun 1208 hijriah, berupa dua dari tujuh bab Tambeh Tujoh atau yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan tujuh tuntunan. Pada masa Sultan Ibrahim Mansur Syah memimpin, seorang bernama Syekh Ismail pernah menyusun sebagian isi Tajul Muluk atau Mahkota Raja, yang isinya mengenai obat tradisional.
Sakti pernah menguji ramuan obat tradisional yang ditemukan dalam Tajul Muluk. Sakti mengaku pernah mengalami pendarahan hebat akibat kecelakaan yang membuat dia menjadi pelupa.
Dalam Tajul Muluk, air perasan jahe bisa mengobati penyakit mudah lupa. Sakti sembuh dari penyakit yang dialaminya setelah beberapa kali meminum air perasan jahe.
"Agar tidak terasa perih atau pedas, air jahe itu saya campur dengan telur setengah matang. Setelah meminum satu sendok teh bubuk jahe setiap pagi setelah makan selama dua bulan, penyakit lupa saya sembuh," demikian testimoni lelaki yang hampir separuh hidupnya melakukan transliterasi berbagai manuskrip kuno ini.
Dua Sumber Penyakit Empat Kekuatan Tubuh
Di dalam Tambeh Tujoh, diurai dua sumber penyakit. Sumber pertama akibat makan minum yang tidak teratur atau berlebih-lebihan, kedua, rusak atau hilangnya keseimbangan empat kekuatan dalam tubuh.
Empat kekuatan dalam tubuh manusia yakni, Jaziyah, Maas’ikkamat, Hadhimat dan Dafaat. Keempatnya memiliki fungsi masing-masing.
"Fungsi Jaziyah adalah kekuatan menelan atau menarik kedalam. Maas’ikkamat menahan atau benteng dari penyakit. Hadhimat menghancurkan makanan, sedang fungsi Dafaatmengeluarkan ampas makanan, seperti keringat, kencing tinja dan sebagainya. Bila salah satu satu rusak atau kurang berfungsi, maka timbullah penyakit pada manusia," beber Sakti.
Ragam obat tradisional yang tertera di dalam manuskrip kuno seyogyanya mendapat kesempatan untuk diuji secara klinis. Ramuan-ramuan yang ada di dalam kitab tersebut beberapa di antaranya teruji berkhasiat.
"Sekarang, pendidikan farmasi di Universitas Syah Kuala masih setaraf program studi. Sekiranya sudah jadi fakultas farmasi, tentu dapat melakukan uji klinik, sehingga dapat diproduksi secara massal," katanya menambahkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Baca Juga
Advertisement